Selasa, 21 Desember 2010

Putu Wijaya Mampir Magelang


-Karya-karyanya adalah sebuah jebakan bagi para pembacanya

Sabtu, 1 Mei 2010, pukul 17.05 WIB, aku dan Topik bergegas menuju Magelang. Di sana kami akan menyaksikan pementasan monolog Putu Wijaya dengan judul “Mpu” yang dilangsungkan di gedung Ahmad Yani, Jalan Gatot Subroto, pada pukul 19.30 WIB. Kami berangkat lebih dini dari Jogja supaya tidak terlambat karena masih harus menghampiri beberapa teman lagi di sana. Di tengah perjalanan, kemacetan ternyata adalah hal yang tak dapat dihindari. Apa mau dikata, roda empat yang kami kendarai terpaksa melaju pelan-pelan layaknya kura-kura dalam perahu: “Dari kejauhan, beberapa polisi yang nongkrong di pos pura-pura tidak tahu dengan kemacetan itu.”  

“Hmm..Pukul berapa kita akan tiba di sana kalau jalannya begini?” aku bertanya pada Topik yang sedang menyopir di sebelahku.

“Tenang saja. Kalaupun terlambat pasti tidak akan terlambat amat. Nanti setelah perempatan di depan, kita akan cari jalan pintas.” Jawabnya dengan sangat sabar.

“Ide bagus itu. Rasa-rasanya jalanan ini seperti jalan menuju Puncak, yang selalu ramai di akhir pekan, tempat orang-orang Jakarta bersembunyi dari kepongahan mereka sendiri,” timpalku kepadanya.

“Haha..analogi yang menarik. Kota-kota modern memang tak bisa untuk tidak menyisakan kesimpulan tentang persoalan yang serupa bagi para pemerhatinya..” Kali ini kami tertawa bersama. Suara klakson semakin lama semakin membising, baik dari depan maupun belakang.   

Di tengah-tengah kemacetan ini, benakku jadi melayang kemana-mana. Pikiranku bertanya-tanya juga mengingat-ingat. Salah satunya adalah tentang sosok Putu Wijaya, sang lakon utama: Si Mpu yang kali ini mampir Magelang kota gemilang.

***

Beberapa hari sebelumnya, ketika Topik, yang kini duduk disebelahku sambil menyopir mobil ini, menawarkan ajakan untuk menonton pementasan Putu Wijaya, aku langsung setuju tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Bagaimana tidak?

“Itukan pementasan seorang sastrawan senior dan penggiat teater kawakan,” tukas bawah sadarku agak sedikit memaksa untuk mengiyakan ajakan tersebut.

Putu wijaya? Aku mengetahuinya pertama kali dari seorang guru pelajaran bahasa Indonesia sewaktu SMA, Pak Hengky namanya. Ia mengenalkan bahwa Putu Wijaya adalah seorang sastrawan, penulis novel, cerpen, dan  juga pemain teater yang cukup terkenal.

Perkenalan itu juga diisi oleh Pak Hengky dengan membacakan salah satu cerpen Putu Wijaya yang berjudul “Kepala” secara utuh kepada kami, murid-muridnya di kelas. Sayang, tak banyak yang aku ingat dari cerita itu selain pramugari yang menawarkan “kepala” kepada salah satu penumpangnya yang tak punya kepala.

Yang aku tahu, waktu itu kami, murid-murid di dalam kelas, kebingungan untuk bisa memahami isi ceritanya dengan gaya yang berbau surealis itu. Dan ketika Pak Hengky selesai membacakan cerita tersebut, ia menanyakan apakah ada yang paham dengan isi ceritanya? Sejauh yang aku ingat, waktu itu kami semua hanya terdiam seperti batu-batu karang di pantai. Beberapa temanku yang duduk paling belakang pun terlihat sudah tertidur pulas dengan bibir yang menganga.  

Kesan dari perjumpaan pertama dengan karya Putu Wijaya yang berakhir dengan kebingungan itu lantas membuatku tak begitu tertarik dengan karya-karyanya yang lain. Aku mengacuhkannya karena tak ada elan juga kenikmatan yang aku peroleh ketika membacanya.  

Akan tetapi pandanganku terhadap karya-karya Putu Wijaya kemudian berubah 180 derajat setelah aku membaca karyanya yang lain, sebuah novel: “Pabrik”. Novel ini aku temukan di antara koleksi buku milik tante Ida, ibu temanku, Dadik, di perpustakaan kecilnya. Terus terang, waktu itu aku juga heran kenapa tiba-tiba tertarik dengan novel tipis itu. Barangkali karena sampulnya yang berwarna kuning, sedikit mencolok diantara buku-buku yang lain, sehinga menarik perhatianku untuk membacanya.

Setelah selesai membaca “Pabrik”, aku dapati élan dan kenikmatan, berbeda dengan kesan pertama dari cerpennya yang berjudul “Kepala”. Novel tipis ini bergaya realis meskipun fiksi, tidak absurd, dan dapat dicerna dengan mudah. Dalam novel ini aku menemukan sebuah gambaran tentang kondisi sosial masyarakat industri yang kompleks. Aku juga menemukan bahwa ternyata Putu Wijaya adalah salah seorang pengarang yang cerdas dengan tidak menghitam-putihkan karakter- karakter tokoh (manusia) di dalamnya. Ia mengeksplorasi sifat-sifat manusia secara detail melalui tokoh-tokohnya dengan menunjukan pergolakan batin lewat percikan pemikiran tokoh-tokoh di dalamnya. Singkatnya, dalam karya ini aku menemukan kesan bahwa Putu Wijaya adalah salah satu pengarang yang suka untuk menjebak pembacanya sendiri. Dengan kta lain, karya-karyanya adalah sebuah jebakan bagi para pembacanya.

***

Roda empat memasuki kota Magelang sekitar pukul 18.39 WIB. Lalu kami menjemput dua orang teman di sana, di daerah Ngasem. Setelah itu baru kami menuju gedung A. Yani.

Sesampainya disana ternyata kami tidak terlambat. Kami sampai pada pukul 19.26 WIB dan pementasan belum dimulai. Kami mengantri untuk membeli tiket. Kami membeli tiket kelas festival seharga Rp. 20.000, dan duduk di muka panggung bagian belakang bersama penonton lainnya yang telah lebih dulu menunggu. Tak lama kemudian pementasan dimulai. Aku terdiam, asyik memperhatikan. Pikiranku kini tidak melayang-layang dan bertanya-tanya lagi. Tapi dalam pembukaan itu, sang ‘mpu’ belum muncul. Hmm…

Bulan dalam Lamunan


-Ah, bulan andai saja kau tahu begitu banyak sajak terbuat untukmu.

Malam ini hujan. Langit yang sebelumnya begitu merah, akhirnya memuntahkan bulir-butir air yang jatuh dengan jeram. Seturut perhitungan titi mangsa, semestinya malam ini tak ada hujan; karena malam ini, ya, malam ini, adalah bagian dari malam-malam musim kemarau yang panjang, bukannya penghujan.

Malam ini hujan turun, mungkin, berbarengan dengan peri-peri mimpi yang setiap malam, setelah pukul sembilan, menceritakan dongeng dalam tidur anak-anak. Ya sudah, biarlah, biar hujan yang turun malam ini merinaikan nyanyian penghantar bagi dongeng-dongeng yang dituturkan oleh peri mimpi itu ditilam anak-anak. Biar juga tidur anak-anak semakin nyenyak, senyenyak tukang becak yang tidur di pinggir jalan yang gelumat oleh bahana kendaraan roda dua, tiga, dan empat, enam, delapan; ya, dimana lagi kalau bukan di atas becak. Dan, tentu saja, malam ini tak ada bulan di langit muram.

Tapi, andai kata malam ini tak hujan, tentu saja, bulan akan gilap-gemilap membagi adil cahaya ke bumi. Di atas langit yang cerah, bulan akan serupa batu topaz kuning yang belum dilampas, atau barangkali, seperti Kyaiktiyo Pagoda yang tergantung di atas langit bukannya di negara Mon, Burma, di atas bumi.

Bulan akan merona laksana pipi merahmu yang tersipu karena menahan malu. Bulan..bulan..merah jambu, begitu kata salah satu lagu yang memujamu. Tapi tahukah kau bahwa bulan tak pernah tidur. Tak pernah ia bisa bermimpi, padahal ingin sekali ia bermimpi. Ingin juga ia membagi cerita tentang mimpinya itu pada mereka yang senantiasa memandanginya telanjang di malam-malam bersama bintang gemintang. Bersama angin sepoi-sepoi yang mendayu-dayu seperti lagu melayu itu.

Ah, bulan andai saja kau tahu begitu banyak sajak terbuat untukmu. Begitu banyak juga lukisan tentangmu: dari bulan sabit, bulan purnama, bulan keropos, bulan ditelan awan, juga bulan lupa ingatan. Ah, andai saja bulan kau tak pernah ada di alam raya semesta, di langit sana, di bentangan cakrawala malam itu, mungkin aku tak akan pernah menuliskan ini untukmu. Ya, tak akan pernah...    

Gelandangan

-Ia tak ubahnya kaktus yang hidup di padang pasir

Hari makin sebam dalam senja yang semakin merah. Lalu lalang kendaraan juga semakin padat dan berisik seperti barisan semut yang hendak pulang. Namun keramaian itu membuatnya tetap tak bergeming. Ia begitu acuh dengan sekelilingnya. Ia tak hirau pada terang dan petang, sepi maupun ramai. Barangkali, semua itu baginya sama saja. Ia tak ubahnya kaktus yang hidup di padang pasir.  

Temaram lampu kota mulai menyala seiring dengungan adzan maghrib yang bertalu-talu. Cahaya-cahaya yang remang itu pelan-pelan menggantikan keindahan lembayung senja di sudut-sudut yang dihampiri gelap. Dari kejauhan, samar-samar bulan yang hanya separo tampak sedang mengawasi dunia dengan iringan biduk-biduk bintang. Dan malam itu pun terasa begitu cerah.

Gelandangan yang tampak letih dan rentan itu berbaring di emperan sebuah toko yang telah lama kosong. Pada roling door tubuhnya bersandar, tertera tulisan “dikontrakan hub: 081XXX”. Tulisan itu menggantung tepat di atas kepalanya pada sebuah papan persegi panjang berwarna putih. Entah sudah berapa lama ia berbaring di sana. Mungkin, ia sendiri tak peduli.  

Wajahnya yang kusam dan dekil berselimutkan jambang, kumis dan jenggot yang tumbuh lebat. Rambutnya pun terurai serampangan, kusut tak terurus. Pakaiannya sungguh lusuh seperti tercabik-cabik usia. Tubuhnya sangat kurus dengan wajah yang juga tirus, barangkali karena ia jarang makan. Dan sepertinya rasa marah karena lapar itu terhempaskan dalam kebisuannya yang beku. Tak nampak sepatah kata terucap dari bibirnya yang pucat lesi. Mulutnya tertutup rapat. Ia hanya memandang jalanan yang sedikit lengang dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada di benaknya.

Beberapa saat kemudian, dari arah seberang, terlihat seorang bocah, berusia kira-kira enam tahun, berjalan dengan riangnya. Bocah itu adalah anak dari pemilik kios photo copy, beberapa meter di seberang emperan toko kosong. Ia berjalan sambil menggenggam uang pecahan sepuluh ribu. Ia menyeberang ke arah toko es krim, dua blok dari tempat gelandangan. Bocah itu menyeberang ketika jalanan sepi kemudian masuk ke dalam toko.

Tak lama berselang ia keluar dari balik pintu dengan membawa sebuah es krim dan uang lima ribuan. Ia pun bergegas kembali dengan mata yang berbinar-binar. Sepertinya ia sudah tak sabar untuk menikmati es krim tersebut. Ia berjalan lamat-lamat karena jalanan terlihat ramai. Tapi kali ini ia berjalan melewati emperan tempat gelandangan berbaring.

Tiba-tiba ia berhenti di hadapan gelandangan itu. Ia memandang dengan pilu dan was-was. Gelandangan membalas tatapan itu dengan sekilas lalu. Ia tetap diam, berusaha tak mempedulikannya. Bocah itu juga tampak termangu, mungkin karena bingung atau tak tahu harus berkata apa. Tanpa diduga, bocah itu memberikan uang lima ribu rupiah yang ada dalam genggamannya kepada gelandangan itu. Diletakkannyalah uang itu di samping tubuh gelandangan yang terkulai lemah. Mungkin ia iba memperhatikan gelandangan itu. Dan sepertinya ia memang diajarkan untuk memberi dan bersedekah. Ia adalah bocah yang baik, yang masih polos hatinya.

Gelandangan terkejut. Ia terbangun dengan terbata-bata. Namun bocah itu tanpa disangka-sangka juga terkejut. Mungkin karena takut, ia lekas berlari menyeberang jalan. Gelandangan berusaha memanggil dan mengejar, namun ia tertatih berjatuhan. Tiba-tiba dalam pandangan yang sedikit samar, gelandangan melihat bocah itu tertabrak oleh motor yang melintas dalam keadaan cepat. Seketika saja bocah itu jatuh tergeletak tak sadarkan diri di jalanan. Kepalanya berlumuran darah tak berdosa. Pengemudi motor itu pun terpelanting jatuh ke tepi jalan. Beruntung pengemudi itu tak apa-apa. Ia segera bangun dan mengangkat bocah itu ke tepi. 

Seketika jalanan menjadi sedikit macet. Orang-orang yang ada di sekitar berlari untuk menolong. Bocah itu dibopong menuju kios photo copy. Tak lama kemudian pecah suara tangis dari seorang perempuan. Barangkali ibu dari bocah itu. Sebuah mobil sedan berwarna hitam pun melenggang kencang menghantar bocah itu ke rumah sakit. Sementara pengemudi yang menabrak bocah itu kini terduduk lesu sambil membersihkan luka di siku tangannya. Ia duduk di sebelah gelandangan yang wajahnya menjadi mendung muram.       

Dalam hati gelandangan itu kini terbesit mendalam kekecewaan. Ia rasakan adanya gumpalan-gumpalan mendung di dirinya yang sudah bergemuruh dan siap menghempaskan badai yang besar. Badai yang akan meluluh-lantahkan dirinya sendiri dari kedegilan serta segala kenistaanya. Mendung itu semakin lama semakin tebal menyelimuti hatinya.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Republik Kaum Muda?

“Sebagaian besar rakyat, dan manusia pada umumnya, hanya patuh ketika masih muda, begitu menjadi tua mereka tak dapat diperbaiki lagi” -Rousseau-

Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa salah satu aktor (agen) yang mendorong lahirnya  kemerdekaan republik ini ialah kaum muda. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda yang dilangsungkan dua kali  serta penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, pemuda dalam hal ini, ibarat pelecut yang mencibir kaum tua yang beringsut dengan persoalan persatuan dalam mewujudkan kemerdekaan. 

Demikian juga dengan tumbangnya dua pengendali negeri di sepanjang perjalanan republik ini, pemuda juga memiliki peranan yang signifikan. Sehingga tidak salah jika kemudian kaum muda diidentikan dengan pendobrak yang membawa harapan akan pembaharuan, singkat kata perubahan.

Namun ada satu catatan yang perlu digaris bawahi dari sejarah tersebut yakni kaum muda yang telah mendobrak tembok kebobrokan di negeri ini tidak lantas -secara otomatis- menjadi pengendali. Atau setelahnya kaum muda tidak banyak mendapatkan peran utama. Kalaupun (memang dianggap) ada itu pun hanya beberapa atau setelah mereka menjadi sedikit tua. 

Bagaimana jika kemudian kaum muda ditempatkan sebagai pengendali negeri ini? Apakah perubahan ke arah yang diinginkan juga akan terwujud? Jawabannya tentu tidak dapat dipastikan. Namun bukankah sejarah itu salah satunya ada sebagai bahan pembelajaran atas rekaman kesalahan? Dari sini tidaklah tertutup kemungkinan untuk mencobanya -dengan syarat jika saja indikasi tersebut memang benar adanya. 

Akan tetapi jika persoalan intinya adalah mewujudkan keadaan yang lebih baik tentu saja masih ada syarat lain yang harus dipenuhi. Dengan kata lain persoalan ini tidak lantas dijawab dengan penuh simplifikasi atau penyederhanaan yaitu menempatkan persoalan yang ada dalam sebuah aras tunggal yang tidak lain adalah persoalan “sosok” manakah yang lebih baik mengendalikan tapuk kekuasaan? apakah “kaum muda” ataukah “kaum tua”?

Berkaitan dengan persoalan sebuah negeri dalam sebuah uraian Nicolo Machiavelli menyebutkan bahwa:
 Sesungguhnya, tak ada gunanya melihat yang bagus dari berbagai negara yang dikenal demikian korup seperti yang terjadi dibanyak negara lain kecuali Italia. Prancis dan Spanyol juga mengalami korupsi, dan kalau kita menyaksikan tidak adanya kekacauan dan kesulitan yang begitu banyak di negara-negara seperti yang terjadi di Italia, hal itu bukan karena sifat baik rakyatnya, melainkan karena kenyataan bahwa mereka masing-masing mempunyai seorang raja yang tetap mempersatukannya

Dari uraian tersebut, dapat ditengarai bahwa dalam sebuah republik (negara), figur kepemimpinan bisa jadi memang merupakan salah satu faktor yang penting sehingga menjadi mata rantai atas persoalan yang kusut dan semakin mengarat, yang melanda sebuah negeri. Menurut salah satu penggagas republik modern lainnya yaitu Rousseau -meski ada yang telah lama meninggalkan gagasannya karena alasan pendekatan yang tidak dapat dibuktikan- jawaban atas kepemimpinan yang ideal dalam sebuah republik adalah ditangan seseorang yang memahami benar apa itu kepentingan umum. Bagaimana dengan kaum muda?   

Sosok kaum muda di Indonesia memang telah menjawab tuntutan sejarah sebagai pendobrak kebobrokan suatu rezim maupun sistem. Satu bukti yang telah ditunjukkan adalah adanya tekad dan keyakinan yang kuat -meski dibayangi oleh resiko yang tidak ringan yaitu meregang nyawa sendiri. Tekad dan keyakinan ini kemudian memunculkan keberanian yang luar biasa. Sehingga keberanian yang ada bisa dikatakan menjadi salah satu kunci bagi terwujudnya perubahan. 

Namun apakah keberanian yang dimiliki kaum muda sudah cukup untuk menciptakan keadaan yang lebih baik? Dalam konteks republik, pertanyaan ini dapat menjadi: apakah kaum muda telah memahami benar apa itu kepentingan umum? Singkat kata memahami arah yang akan ditujunya dalam mengendalikan negeri ini? Dengan begitu, setidaknya gambaran atas arah tersebut mensyaratkan adanya sebuah pemikiran atau gagasan yang jelas.
  
Dalam sebuah republik, perubahan senantiasa mengarah pada kepentingan umum. Pendek kata, tujuan dari sebuah perubahan adalah kepentingan umum, bukan yang lain. Oleh karenanya untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik, kaum muda hendaknya juga memiliki sebuah gagasan baru yang mencerminkan kepentingan umum. Gagasan ini diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini gagal di selesaikan oleh sebuah gagasan lama. 

Dengan kata lain, gagasan baru yang ada adalah sebuah gagasan yang akan membawa pada tercapainya kepentingan umum. Bagaimana konkritnya? Tentu saja kaum muda harus menemukan sendiri jawabannya. Bagaimana caranya? Tidak lain dan tidak bukan dengan mengetahui sejarah serta kondisi riil bangsa maupun masyarakatnya. Seperti kata Montesquieu bahwa "Semangat yang mendasari Undang-Undang bukanlah hasil ciptaan penguasa melainkan tergantung pada kondisi riil sebuah negara." Jika kemudian gagasan itu akan mewujud dalam Undang-Undang maka gagasan itu tidak bisa tidak muncul dari kondisi riil sebuah negeri itu sendiri. 

Implementasinya tercermin dalam langkah sinergi antara keberanian menuangkan gagasan baru tersebut dalam sebuah kondisi (sistem) yang terlanjur berkarat. Harapannya sistem tersebut dapat dirombak atau diganti demi tercapainya kepentingan bersama. Karena kalau tidak, mustahil perubahan akan tercipta. Dalam hal ini apa yang dikatakan oleh Aristoteles akan senantiasa mengena untuk berulang kembali yakni “kaum muda adalah kaum yang idealis akan tetapi setelah mereka menjadi tua tak ada lagi yang dapat diharapkan karena mereka telah menjadi mapan dan justru berbalik menentang perubahan”.

Akhir kata, jawaban atas pertanyaan yang ditujukan untuk perubahan yang lebih baik adalah keberanian dan integritas atas gagasan baru. Dengan demikian jawabannya tidak terbatas pada sosok manakah yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan melainkan ada dalam jiwa-jiwa yang muda: yang senantiasa menginginkan perubahan dengan bekal konsistensi keberanian dan kreativitas maupun inovasi dalam mengusung gagasan baru. Yang tidak lain mencerminkan kepentingan umum serta diperoleh dari kondisi riil bangsa atau masyarakatnya sendiri. Bukan yang lain!

Jumat, 22 Oktober 2010

Pintu: Antara Luar dan Dalam

-Jika sebuah pintu dirusak maka ada sekat yang coba dirubuhkan

Pintu adalah sebuah penanda: antara luar dan dalam. Ia juga menjadi batas mana yang asing dengan mana yang bukan. Tapi apa yang terjadi jika pintu itu dirusak? Saya berpendapat, jika sebuah pintu dirusak maka ada sekat yang coba dirubuhkan. Ada batas yang coba ditelisik dan diusik. Dengan kata lain ada sebuah otoritas yang coba diterabas. 

***

Sore itu, sepulang dari bersepeda ria, aku memutuskan untuk segera mandi. Sehabis mandi tubuh kembali terasa sedikit bugar. Serta merta aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan berdiri di hadapan cermin sambil merapikan rambut. Namun dahaga terasa semakin tak tertahankan. Aku bergegas menuju angkringan karena bayang-bayang es tehnya yang sedap dan segar begitu menggodaku. Keluar kamar, aku tak lupa mengunci pintu. “Klek..Klek!!” aku pastikan pintu tertutup rapat. 

Setelah puas menenggak segelas es teh manis dan menyantap dua bungkus nasi kucing dengan beberapa gorengan, aku putuskan untuk pulang. Di perjalanan, aku teringat kalau aku belum membeli rokok. Terpetik untuk mampir di warung.Namun ketika melewati kamar kos, tampak sesosok orang sedang mengintip ke dalam kamarku dengan sedikit mengendap-endap. 

Laju sepeda segera kuhentikan tepat di seberang jalan. Kamarku ada di atas. Kuperhatikan dengan seksama untuk memastikan apakah aku mengenal sosok tersebut. Ternyata, aku benar-benar tak mengenalnya. Aku berbalik dan menuju kos. Dengan sedikit cemas, kutunggu di muka tangga paling bawah karena aku perkirakan ia akan turun. 

Dalam hati aku berkata, “Siapa orang ini?” Tak lama, orang itu pun turun. Aku segera bertanya, “Mau cari siapa mas?” Sosok itu terlihat kurus, berkulit kuning, berambut pendek rapi. Ia mengenakan celana jeans biru, kemeja kotak-kotak sambil membawa helm cakil, dan dipundaknya tercangklong tas berukuran kecil berwarna hitam.

“Mau cari kos mas,” ia menjawab dengan logat yang bukan Jawa. Aku perkirakan ia adalah seorang pendatang yang berasal dari Palembang (Sumatera) jika dilihat dari tampilan fisik dan logat bicaranya.

“Nyari kos kok ke atas, gak nanya ama pak kos?” aku perhatikan wajahnya yang sedikit acuh.

“Ia tadi di atas,” ia menjawab pertanyaanku dengan tergesa-gesa sambil berjalan keluar gerbang. Tak lama, terdengar suara motor yang segera menjemputnya dengan plat AAxxxxHK. Aku tak bisa melihat nomor kendaraannya.  

Aku perhatikan ia tampak berkeringat. Aku merasa ada yang aneh dengan orang ini karena sekilas wajahnya tidak mencerminkan kalau ia seorang mahasiswa. Selain itu jawaban dan tindakannya, jika ia benar-benar mencari kos, sungguh tidak logis. “Kenapa ia langsung ke atas,” hatiku bertanya dengan tidak percaya.

“Ah, peduli setan, toh kamarku masih tertutup rapat,” kataku dalam hati. Aku pun segera mengayuh sepeda menuju warung untuk membeli rokok. Tetapi hati dan pikiran ini tetap merasakan adanya suatu keganjilan.

Sekembalinya dari membeli rokok dan menaruh sepeda di tempat biasa, aku segera menuju kamar untuk menelusuri keganjilan yang kurasakan. Lampu di depan kamarku waktu itu belum kunyalakan. Semuanya terlihat gelap sekaligus sepi. Aku ambil kunci kamar dan kumasukan ke lubang kunci. Ternyata pintu tak dapat di buka. 

Kecurigaanku semakin menjadi-jadi. Dengan sedikit kupaksakan, pintu tetap tak terbuka karena kunci hanya dapat bergerak separonya saja. Darahku semakin mendidih, dan lampu pun kunyalakan untuk mengetahui masalahnya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, terbukti sudah keganjilan yang kurasakan: pintu kamarku telah dicoba untuk dirusak. Tampak goresan-goresan congkelan di sudut-sudut dekat daun pintunya.

Bekas-bekas congkelan itu seperti luka yang menganga. Seketika aku mengumpat, mendapati orang yang kuajak bicara tadi ternyata telah berniat jahat. Ia melukai pintu kamarku namun untungnya pintu masih tertutup rapat.  Ia tak berhasil menjebol dan menerobos masuk. Aku muntab!

Menyadari ada sebuah upaya untuk merubuhkan sekat, menelisik dan mengusik batas namun gagal. Pintu kamarku layaknya pasukan gajah di zaman Majapahit yang kaki-kakinya terluka terkena tombak namun berhasil mempertahankan sebuah otoritas yang coba dilanggar oleh kedegilan perusuh liar.

Senin, 18 Oktober 2010

Benda-Benda Mati

-Mahluk bernyawa tak sanggup mengkreasikan benda bernyawa tanpa bersekutu dengan mahluk senyawa sejenis lainnya. 

Waktu menunjukkan pukul 01.25 WIB. Ini dini hari. Aku masih terjaga sambil menikmati sebatang rokok. Pandangku tertuju pada monitor komputer. Jari-jariku bergerak pada tuts-tuts keyboard. Aku duduk membelakangi televisi, kulkas, rak buku, dan lemari pakaian di dalam kamarku. Tiba-tiba aku jadi berpikir tentang mereka: benda-benda penghuni kamarku ini.

Monitor, keyboard, kursi, televisi, kulkas, rak buku, lemari pakaian adalah benda-benda mati. Mengapa mati? Karena mereka hanya berdiam diri alias tidak tumbuh, bergerak, maupun berkembangbiak. Mereka tak bernyawa. Ya, karena mereka hanyalah ciptaan manusia. Mahluk bernyawa tak sanggup mengkreasikan benda bernyawa tanpa bersekutu dengan mahluk senyawa sejenis lainnya.

Mengapa manusia menciptakannya? Jawabnya tak lain ialah karena fungsi atau kegunaan. Inilah yang kemudian seolah-olah menjadikan benda-benda itu hidup. Tanpa ada faedah, manusia menganggap mereka hanya sebagai sampah. Benar-benar mati alias tak bermanfaat.

Benakku sekonyong-konyong tersentak ketika menyadari: Apa jadinya jika para karib-karib penghuni kamarku ini tak berfungsi lagi? Bagaimana jadinya bila komputerku mati, kulkasku mati, televisi mati, rak buku rusak, lemari pakaian jebol? Dengan kata lain semuanya tak berfungsi. Hmm..aku rasa aku akan kerepotan. Aku akan kliyengan dalam kesendirian.

Lantas kenapa benda-benda itu diciptakan kalau akhirnya juga membikin manusia, aku, merasa nanar?

Barangkali, manusia, aku, terlalu pandir untuk menyadari bahwa benda-benda yang pada mulanya diciptakan untuk menjarakannya(ku) (menjauhkan) dengan kematian itu tak pernah benar-benar mati. Semakin manusia, aku, menganggapnya mati, semakin didekatkan ia (aku) pada kematiannya(ku) sendiri. 

-Ini aku alami ketika beberapa waktu yang lalu tiba-tiba komputerku mati-

Minggu, 17 Oktober 2010

Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?

-Pembunuhan yang terjadi pada sosok Soekarno merupakan sebuah pembunuhan tak langsung

Dalam buku yang tersusun atas kumpulan tulisan Asvi Warman Adam, sejarawan Indonesia lulusan Sorbone ini -khususnya yang dimuat oleh harian Kompas, saya menemukan sebuah kenyataan bahwa Bung Karno telah mengalami proses pembunuhan sebanyak tiga kali. Kenyataan ini kemudian ditambatkan sebagai judul buku itu sendiri: Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Apa maksudnya tokoh yang terkenal dengan kemampuan pidato, retorikanya itu dibunuh tiga kali? Bagaimana bisa?

Pembunuhan atas sosok proklamator Indonesia itu bisa dikatakan sebagai suatu tindakan dalam tanda kutip: "dibunuh". Maksudnya Soekarno tidak dibunuh seperti halnya Presiden Amerika ke-35, John F. Kennedy, yang mati tertembak atau Gandhi yang tertembus peluru salah satu fanatiknya sendiri. Pembunuhan yang terjadi pada sosok Soekarno merupakan sebuah pembunuhan tak langsung yang meliputi diri, gagasan, berikut karakternya: entah sebelum ia benar-benar meninggal atau sesudah kematiannya yang sungguh-sungguh.

Gagasan mengenai sosok Soekarno yang dibunuh sebanyak tiga kali itu, yang dikemukakan oleh Asvi Warman Adam, berangkat dari pemahaman sejarawan Indonesianis asal Perancis Jacques Leclerc, yang pernah menulis buku: Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi, sebagaimana tertera dalam artikel pertama buku ini, yang juga jadi pengantar, yang menyebutkan bahwa "Pada tahun 1970, Soekarno telah dibunuh dua kali."

Kesimpulan Leclerc atas Soekarno yang dibunuh dua kali itu berangkat dari dua fakta. Pertama, tokoh proklamator Indonesia yang meninggal pada 21 Juni itu disebutkan tidak mendapat proses perawatan dan pengobatan penyakitnya yang wajar. Obat yang harusnya diberikan untuk penyakit Soekarno, ternyata resepnya, yang diberikan oleh dokter Mahar Mardjono, disebutkan, tidak ditebus dan justru hanya tersimpan rapi, disembunyikan di dalam laci meja. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: obat apa yang diberikan pada mantan Presiden pertama Indonesia itu? Pertanyaan inilah yang memunculkan adanya indikasi pembunuhan tak langsung (pertama) atas diri Soekarno.

Kedua, terjadi pelarangan peringatan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, yang bukan kebetulan berbarengan dengan hari lahir Soekarno. Oleh Leclerc, hal ini dianggap sebagai suatu praktik pembunuhan kedua yaitu upaya pembunuhan gagasan Bung Karno; yang prosesnya kemudian dilakukan secara aklamasi-sistematis yakni dengan sebuah pernyataan bahwa gagasan mengenai Pancasila bukanlah hasil pemikiran Bung Karno.

Dari gagasan Leclerc mengenai Bung Karno yang dibunuh dua kali itu, Asvi Warman Adam kemudian mengungkapkan, secara tidak langsung, adanya indikasi pembunuhan yang ketiga: pembunuhan karakter Soekarno, dalam kesimpulan sebuah buku yang dikarang oleh Antonie C.A. Dake, warga negara Belanda, yang berjudul Soekarno File, Berkas-Berkas Soekarno, Kronologi Suatu Keruntuhan, yang diterbitkan kembali pada 17 Novemver 2005. Buku yang sebelumnya merupakan sebuah disertasi yang telah berumur 30 tahun, dengan judul asli: The Devious Dalang: Soekarno and The So-called Untung Putsch, Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko itu menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa Soekarno adalah dalang sebenarnya dari tragedi yang menimpa Indonesia pada tahun 1965. 

Dalam hal ini, kesimpulan yang termuat dalam buku itu seolah merupakan peluru yang ditembakan ke arah citra Soekarno; menjadi peluru yang menembus sosok Soekarno yang hidup sebagai sebuah bayangan, sebuah nama. Dengan kata lain, buku itu sendiri adalah upaya pelenyapan Soekarno sebagai citra itu sendiri: proses peminggirannya dalam panggung sejarah Indonesia, yang ironisnya pernah jadi tempat yang mementaskan lakonnya. Di sinilah pembunuhan ketiga itu berlangsung.

Mendapati kenyataan tersebut, saya jadi berpikir: betapa kehidupan Soekarno merupakan sebuah tragedi tanpa akhir, seperti halnya peristiwa tragik yang terjadi pada tahun 1965, yang hingga kini tetap, terus menerus menghadirkan polemik. Ya, tak salah jika Ong Hok Ham, sejarawan Indonesia itu mengibaratkan Soekarno sebagai Hamlet dalam karya Shakespeare: kisah akhir hidupnya sama-sama berujung dengan tragedi.

Mengenai hal ini saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah tragedi Soekarno akan berakhir jika sejarah tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 itu terungkap kebenarannya? Mungkinkah kisah hidup Soekarno tak berujung seperti halnya kisah Hamlet? Karena dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan Asvi Warman Adam dalam bukunya tersebut: tragedi yang menimpa Soekarno sebetulnya juga merupakan tragedi bangsa Indonesia. 


Rabu, 06 Oktober 2010

Kereta Senja


-Kereta itu ibarat dunia ini. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan di dalamnya. Setiap perjalanan punya arah yang berbeda tapi, sekali lagi tapi, arah yang berbeda itu pasti bermuara, berujung, sebagaimana ia bermula atau berpangkal, ya dari sebuah stasiun.
 
Matanya bersembunyi di balik kacamata hitam. Bibirnya ketam. Kepalanya tampak mendongak. Tubuhnya bersandar pada salah satu tiang penyangga sambil mendekap kedua tangan. Kakinya bersila. Pakaiannya batik kusam coklat tua lengan panjang dengan motif parang rusak. Celananya panjang berwarna hitam kepam. Tak jelas terbuat dari kain apa. Melihatnya sekilas, ia seperti sedang bersemedi; sedang menjajal ilmu rogoh sukmo barangkali.

Tenang-tenang aku duduk di kursi tunggu penumpang yang kebetulan berseberangan dengan lelaki tua itu. Aku cukup leluasa untuk memperhatikannya dengan seksama meski sebenarnya ia tak lebih menarik ketimbang gadis-gadis cantik yang hendak mudik atau sekedar menghantar kekasih mereka yang akan pulang pergi. Ya, lelaki tua itu tetap diam terpekur. Ah, apa mungkin sebenarnya ia sedang tidur? Dan, huh, memang apa peduliku?

Tak lama kemudian ia melepas kacamata hitamnya, meletakannya di saku baju. Aih, masih juga terkatup kedua matanya itu. Dan benarlah apa yang kuduga: ia memang benar-benar tertidur. Dan kacamata hitamnya itulah yang menyembunyikan tilamnya dalam-dalam dari perhatian.

Kereta Pramek jurusan Solo mendengung: tanda keberangkatan. Pak tua itu acuh, tak teralihkan pandangannya oleh bising kereta. Tak lama kemudian, tiba-tiba ia menatapku setelah kedua matanya yang sayup itu terbuka. Hmm..bibirnya masih juga ketam. Aku pun, ya, agak-agak terkesiap juga jadinya.  

“Boleh minta rokok?” tanyanya padaku tanpa sungkan dan memaksa. Suaranya datar, agak serak,  dan tidak tegas. Memang baru bangun dari tidur yang kusyuk ia rupanya.

Wah, celaka, aku semakin kaget dibuatnya dengan pertanyaan yang tiba-tiba tak kuduga itu. Tanpa berusaha menampilkan ekspresi keterkejutanku, aku segera menatapnya dengan mata sedikit terpicing dan dahi terkernyit seperti tak peduli. “Ah, kebetulan saya sedang bersenang hati, jadi silahkan ambil sesuka bapak saja.” Mataku segera kuhindarkan dari pandangannya sambil menyulurkan bungkus rokok kretek Dji Sam Soe kepadanya. Aku segera menyaksikan, memandangi, dengan hikmat kereta yang melaju dengan kecepatan sedang itu. Pelan, pelan, lalu semakin kencang, dan kencang, persis seperti ular.   

Tanpa ragu, ia lekas mengambil rokok yang kusulurkan. Hanya sebatang. Segera juga ia menyulut rokok itu dan meletakan bungkus rokoknya di sebelahku sambil mengucapkan terima kasih. Dan ia pun kembali ke posisi semula, berhadap-hadapan denganku lagi. Kereta yang tadi melaju sedang semakin menjauh meninggalkan stasiun ini. Tak terlihat lagi.  

Pandangku pun kini kembali pada lelaki tua itu, yang aku kira usianya mirip-mirip kakekku sendiri. Terlihat jelas bagaimana kemudian ia menghisap rokok itu dalam-dalam.

“Saya juga suka kereta. Sudah sejak kecil saya menyukainya, sejak pertama kali saya melihat dan menaiki kendaraan itu. Terlalu banyak cerita yang kini jadi kenangan saya tentang kereta. Ya, terlalu banyak. Makanya saya juga suka menyendiri di stasiun Lempuyangan ini. Sama seperti anak saat ini.”

Aku segera menyulurkan senyum padanya dan melontarkan pertanyaan yang nyeletuk begitu saja. “Bagaimana bapak tahu kalau saya sedang menyendiri?” tanyaku sedikit menyelidiki.

“Ah, mudah saja.” Ia tak meneruskan kata-katanya. Hanya tersenyum kecil. Terlihat giginya yang sudah ompong tiga pada bagian atas.

Aku tahu, jawabannya yang tak diteruskan itu adalah usaha untuk membuatku semakin memperhatikannya. Boleh dikata, ia menangkap pertanyaan itu sebagai basa-basi saja. Tak penting untuk dijawab serius. Oleh karenanya, aku hanya menimpalinya dengan senyum terkulum, tak berusaha mencari tahu atau semakin merasa penasaran.

Tapi tak lama kemudian ia berkata lagi. “Kereta itu ibarat dunia ini. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan di dalamnya. Setiap perjalanan punya arah yang berbeda tapi, sekali lagi tapi, arah yang berbeda itu pasti bermuara, berujung, sebagaimana ia bermula atau berpangkal, ya dari sebuah stasiun. Dan stasiun ini hanyalah salah satunya”.

Ia menatapku dalam-dalam dengan matanya yang mulai sayu itu. Ia seperti sedang menapaki ketangguhan mentalku untuk mencerna kata-katanya. Dan, tak salah karena memang aku tercengang mendengar kata-katanya itu. Aku sungguh-sungguh takjub dibuatnya. Aku sedikit goyah. Bagaimana mungkin orang yang tak kukenal ini tiba-tiba berbicara tentang sesuatu yang sungguh serius. Tapi tentu saja, aku sembunyikan wajah kagumku itu.

“Ya, barangkali bapak benar. Tapi saya tak sungguh-sunguh paham dengan apa yang bapak maksudkan. Kalau dunia ini adalah kereta, apakah stasiun ini bukan juga sebuah dunia?” Aku pura-pura saja tak paham kata-katanya itu.

“Ya juga dunia, tapi sebuah dunia yang lain.”

Aku semakin terpacu untuk terus bertanya atas jawabannya itu. “Lantas bagaimana dengan kereta yang tak sampai pada sebuah stasiun?”

“Ya itulah yang dinamakan kecelakaan atau bencana. Akan ada banyak orang yang mati jika sebuah bencana terjadi. Keluarga saya salah satunya. Dan saya, satu-satunya yang selamat dalam bencana tersebut. Istri dan keempat anak saya adalah korban dari sebuah bencana dunia. ”

Aku terharu sekaligus terkejut mendengarnya. Terus terang aku bingung untuk berkata-kata.

“Maaf pak saya tidak...” tiba-tiba ia memotong dengan cepat. “Tak ada yang perlu dimintai maaf. Semua sudah terjadi. Dan saya sudah bisa menerimanya meski terus terang saja, butuh waktu lama untuk bisa merasa ikhlas.”

“Ya, saya bisa merasakannya pak.” Aku sedikit menunduk waktu mengucapkannya.

“Terima kasih.” Suara dengungan terdengar lagi. Tak lama kemudian bertalu suara yang memberitahukan kedatangan sebuah kereta kelas ekonomi dari Jakarta. Ponselku segera berdering. Sebuah pesan masuk, dari seorang kawan yang hendak kujemput. Aku segera berpamitan dengan lelaki tua yang tak kuketahui namanya itu.

“Permisi pak, kereta yang saya tunggu sudah datang. Saya ke sini mau menjemput kawan. Itu dia sudah kelihatan. Bapak masih tetap akan di sini?”

“Oh ya silahkan. Saya salah kira. Saya kira anak sedang menyendiri di stasiun ini seperti saya. Saya tetap di sini nak menunggu kereta juga, kereta senja, yang membawa saya pada stasiun tempat perjalanan kehidupan saya berakhir.”

Wah dramatis juga orang tua ini, pikirku dalam batin. “Ya, sudah kalau begitu permisi pak, mari.”

“Selamat tinggal, selamat tinggal,” ucapnya ketika kulambaikan tangan....  

Kamis, 30 September 2010

Pasar Malam

 -Pasar malam bukanlah dunia dan dunia bukan pasar malam!

Sewaktu kecil, bersama dengan para tetangga di kampung, aku sekeluarga pergi menuju pagelaran pasar malam. Waktu itu sekitar pertengahan tahun 90-an, kami pergi diangkut kijang pikep, sebuah kendaraan dengan bak terbuka, berwarna biru. Para orang tua duduk berjejer di pinggiran, sementara anak-anak duduk bergerumul di antaranya, di tengah. Betapa girangnya aku waktu itu. Angin malam yang dingin, yang biasanya terasa menggigit-gigit pori-pori kulit pun seperti kehilangan taringnya. Bukan masalah. 

Ya, pasar malam memang sebuah hiburan yang mewah bagi kami, warga kampung. Di sana, di antara komedi putar, odong-odong, rumah hantu, serta para pedagang dalam gemerlapan lampu yang terang, dll, pasar malam penaka dunia dalam fantasi anak-anak; dunia yang ingin diraih, ditinggali, dimiliki, sebagai yang paling ideal. Barangkali, bagi anak-anak, pasar malam itu adalah imaji surga yang sering diceritakan orang tuanya. Dengan begitu, pasar malam bukanlah dunia, sesuatu yang imanen, melainkan surga, sesuatu yang transeden.     

Dan saat itu, aku juga bertanya-tanya: mengapa rombongan pasar malam itu tak pernah mampir ke kampung kami? Padahal kami juga punya sebuah lapangan terbuka sebagai tempat pergelaran di dekat kecamatan, yang sama dengan lapangan yang kami kunjungi malam itu. Pertanyaan itu tak pernah kulontarkan kepada siapapun termasuk kedua orang tuaku yang biasanya selalu jadi tokoh idola yang sanggup menjawab segala kebuncahanku saat kecil. Ya, itu memang tak lebih dari sebuah pertanyaan anak-kanak. Jawabannya pun tak pernah aku dapatkan namun pertanyaan itu masih tersimpan rapi dalam lemari ingatanku. 

Bukan, aku tak akan menjawab pertanyaan kanak-kanakku itu saat ini. Ingatan akan pertanyaanku itu justru muncul kembali sewaktu, beberapa waktu yang lalu, aku membaca sebuah novel yang berjudul "Bukan Pasar Malam" yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer, salah seorang pengarang Indonesia yang paling hebat menurutku. Pram, begitu ia sering disapa, adalah seorang pengarang yang punya keyakinan bahwa dengan menulis, orang tak akan digulung sejarah. Menulis adalah menyejarahkan diri, seperti harimau mati meninggalkan belang sementara gajah mati meninggalkan gading. Menulis, barangkali, adalah sebuah upaya mengekalkan kehidupan dalam kematian. 

Novel "Bukan Pasar Malam" bukanlah roman. Novel setebal 106 halaman itu, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1954, menurutku, adalah sebuah novel yang terinspirasi oleh kisah hidup, biografi, dari pengarangnya. Novel yang mengambil setting beberapa tahun pasca kemerdekaan itu menceritakan seorang anak, dalam novel itu disebutkan sebagai "Aku", bersama dengan adik-adiknya, dalam menghadapi peristiwa kematian ayahnya yang mengidap penyakit TBC akut. Si "Aku", dalam novel itu, adalah anak tertua dan yang paling sering cekcok, bertengkar, tidak cocok dengan sang ayah di antara yang lain. Meski dalam kenyataannya percekcokan itu menghadirkan sedikit kebencian dan kemarahan bagi keduanya namun pertengkaran itu bukanlah hal yang merenggut, menghilangkan, membunuh rasa cinta di antara ayah dan anak itu secara permanen. 

Dan di saat-saat terakhir menjelang ajal ayahnya, si "Aku" akhirnya mengerti  bahwa yang terjadi di antara mereka selama ini tak lebih dari ungkapan rasa cinta yang begitu mendalam, yang hadir seolah-olah sebagai sebuah pertentangan prinsip. Dalam detail-detail cerita novel itu kemudian disebutkan bagaimana pandangan teman-sahabat-karib, orang yang mengenal ayahnya sewaktu melayat. Berbagai cerita mengenai ayahnya yang "Aku" dengar itu akhirnya membuat pandangannya berubah 180 derajat, dari meremehkan menjadi mengagumi bahwa ayahnya adalah seorang guru dengan rasa keperwiraan yang tinggi terhadap bangsanya serta telah berjuang dan mengorbankan banyak hal demi kemerdekaan bangsanya itu. Meski rasa nasionalisme dan patriotisme yang besar itu telah merenggut perhatian yang seharusnya tercurah bagi anak-anak dan keluarganya. Si "Aku" akhirnya memahami bahwa di balik kecilnya perhatian seorang ayah terhadap anak-anaknya, yang secara khusus memicu rasa marah di diri "Aku" kepada ayahnya, ternyata ayahnya itu adalah salah seorang manusia hebat yang pernah ia kenal. 

Dalam menghadapi sebuah peristiwa kematian itu, di antara rasa sedih yang menggempakan jiwanya, "Aku" mendaku hikmah sebagai sebuah pemahaman tentang hidup, tentang dunia itu sendiri: 
Dunia ini tidak seperti pasar malam, dimana manusia berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang, seperti dunia pasar malam, seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana.
Ya, Pram memang hebat. Dengan tepat ia merefleksikan serta menangkap arti dalam sebuah pengalaman hidup. Walhasil judul novel tipis tersebut pun seolah juga jadi intisari dari keseluruhan cerita: "Bukan Pasar Malam" yang merujuk pada arti semesta itu sendiri: menjadi perumpamaan, sebuah metafora bahwa yang disebut sebagai dunia bukanlah sebuah pasar malam. Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam.

Kini, dalam benakku ada dua buah pemahaman perihal pasar malam yang berkelindan satu sama lain. Apabila kemudian pemahaman kanak-kanakku mengenai pasar malam dipertemukan dengan pemahaman dalam novel Pram itu maka dapatlah dikatakan bahwa pasar malam bukanlah dunia dan dunia bukan pasar malam. Sudah pasti ini bukan jawaban atas pertanyaanku sewaktu kecil dulu melainkan sebuah pemahaman segar tentang dunia. Jika dulu, sewaktu kecil, kami memang datang dan pulang dengan berduyun-duyun menuju pasar malam namun kelak, sebagaimana kami tak dilahirkan serentak, kami akan pulang masing-masing menuju pasar malam yang bukan dunia itu.    


   

Rabu, 29 September 2010

Menghayati Kehidupan

 
-La Vita E Bella!   

Dalam benak saya, sering muncul pertanyaan-pertanyaan tentang apa hidup ini, dan untuk apakah juga hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan itu, bagi saya, layaknya sebuah kolom dalam teka-teki silang, entah mendatar atau menurun, pada sebuah koran, yang sulit untuk dipecahkan meski telah terdapat beberapa huruf sebagai kata kuncinya. Ya, begitu susah meski telah memutar otak sampai 360 derajat sekalipun. Dan, kiranya teka-teki disebut sebagai sebuah pertanyaan yang menghantarkan seribu pertanyaan maka seperti itu jugalah pertanyaan saya tentang hidup ini. 

Tentu, tentu saja, pertanyaan semacam itu pernah dialami oleh siapa saja pada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkannya muncul dengan serta merta dan lugu, konyol, dan terkadang terasa menggelikan. Sebuah kondisi yang menempatkan seseorang itu merayapi dirinya sendiri: berkontemplasi, merenung, tafakur, termenung dalam sebuah kesadaran tentang aku, dia, dan juga dunia ini, yang umumnya diartikan sebagai sesuatu yang filosofis. Ada sebuah pendapat menarik dari Andrea Hirata, seorang penulis asal Belitong, mengenai hal ini dalam novelnya yang berjudul Edensor: 
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya-cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbang rel tadi. Analogi eksperimen itu tak lain karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa penglaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain
Apabila sampai saat ini saya belum dapat menemukan jawaban atas teka-teki silang ihwal hidup ini yang muncul dalam benak saya, seturut dengan pendapat tersebut, itu artinya saya belumlah cukup untuk dianggap telah mendapatkan sebuah pelajaran, ilham, dari sebuah pengalaman yang sifatnya absolut, atau yang dalam analogi Hirata disebut sebagai cahaya-cahaya yang melesat-lesat dalam gerbang rel kereta api, yang dalam hal ini dapat menimpa atau dialami oleh siapa saja dalam kondisi-kondisi yang memungkinnya timbul.

Untuk menemukan, menangkap, dan mendapatkan sebuah pelajaran, amanat, makna, atau jawaban itulah dalam hal ini saya akan merangkai benang-benang cahaya-cahaya yang melesat-lesat itu dalam sebuah julujur yang kemudian disebut sebagai catatan, pada pembiasannya dalam aneka warna. Dan sepertinya tak ada pilihan lain, selain menghayati kehidupan itu sendiri!  

Ya, karena hidup ini, sebagaimana diungkapkan oleh Roberto Benigni, seorang aktor, sutradara, sekaligus penulis film asal Italia yang pernah memperoleh nominasi Academy Award, dalam salah satu film dan judul filmnya, begitu indah: Life is Beautiful! La Vita E Bella! Dan, salah satu jalan untuk menemukan sekaligus merasakan bentuk keindahan dalam hidup ini ialah dengan menghayatinya.