Sabtu, 30 Oktober 2010

Republik Kaum Muda?

“Sebagaian besar rakyat, dan manusia pada umumnya, hanya patuh ketika masih muda, begitu menjadi tua mereka tak dapat diperbaiki lagi” -Rousseau-

Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa salah satu aktor (agen) yang mendorong lahirnya  kemerdekaan republik ini ialah kaum muda. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda yang dilangsungkan dua kali  serta penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, pemuda dalam hal ini, ibarat pelecut yang mencibir kaum tua yang beringsut dengan persoalan persatuan dalam mewujudkan kemerdekaan. 

Demikian juga dengan tumbangnya dua pengendali negeri di sepanjang perjalanan republik ini, pemuda juga memiliki peranan yang signifikan. Sehingga tidak salah jika kemudian kaum muda diidentikan dengan pendobrak yang membawa harapan akan pembaharuan, singkat kata perubahan.

Namun ada satu catatan yang perlu digaris bawahi dari sejarah tersebut yakni kaum muda yang telah mendobrak tembok kebobrokan di negeri ini tidak lantas -secara otomatis- menjadi pengendali. Atau setelahnya kaum muda tidak banyak mendapatkan peran utama. Kalaupun (memang dianggap) ada itu pun hanya beberapa atau setelah mereka menjadi sedikit tua. 

Bagaimana jika kemudian kaum muda ditempatkan sebagai pengendali negeri ini? Apakah perubahan ke arah yang diinginkan juga akan terwujud? Jawabannya tentu tidak dapat dipastikan. Namun bukankah sejarah itu salah satunya ada sebagai bahan pembelajaran atas rekaman kesalahan? Dari sini tidaklah tertutup kemungkinan untuk mencobanya -dengan syarat jika saja indikasi tersebut memang benar adanya. 

Akan tetapi jika persoalan intinya adalah mewujudkan keadaan yang lebih baik tentu saja masih ada syarat lain yang harus dipenuhi. Dengan kata lain persoalan ini tidak lantas dijawab dengan penuh simplifikasi atau penyederhanaan yaitu menempatkan persoalan yang ada dalam sebuah aras tunggal yang tidak lain adalah persoalan “sosok” manakah yang lebih baik mengendalikan tapuk kekuasaan? apakah “kaum muda” ataukah “kaum tua”?

Berkaitan dengan persoalan sebuah negeri dalam sebuah uraian Nicolo Machiavelli menyebutkan bahwa:
 Sesungguhnya, tak ada gunanya melihat yang bagus dari berbagai negara yang dikenal demikian korup seperti yang terjadi dibanyak negara lain kecuali Italia. Prancis dan Spanyol juga mengalami korupsi, dan kalau kita menyaksikan tidak adanya kekacauan dan kesulitan yang begitu banyak di negara-negara seperti yang terjadi di Italia, hal itu bukan karena sifat baik rakyatnya, melainkan karena kenyataan bahwa mereka masing-masing mempunyai seorang raja yang tetap mempersatukannya

Dari uraian tersebut, dapat ditengarai bahwa dalam sebuah republik (negara), figur kepemimpinan bisa jadi memang merupakan salah satu faktor yang penting sehingga menjadi mata rantai atas persoalan yang kusut dan semakin mengarat, yang melanda sebuah negeri. Menurut salah satu penggagas republik modern lainnya yaitu Rousseau -meski ada yang telah lama meninggalkan gagasannya karena alasan pendekatan yang tidak dapat dibuktikan- jawaban atas kepemimpinan yang ideal dalam sebuah republik adalah ditangan seseorang yang memahami benar apa itu kepentingan umum. Bagaimana dengan kaum muda?   

Sosok kaum muda di Indonesia memang telah menjawab tuntutan sejarah sebagai pendobrak kebobrokan suatu rezim maupun sistem. Satu bukti yang telah ditunjukkan adalah adanya tekad dan keyakinan yang kuat -meski dibayangi oleh resiko yang tidak ringan yaitu meregang nyawa sendiri. Tekad dan keyakinan ini kemudian memunculkan keberanian yang luar biasa. Sehingga keberanian yang ada bisa dikatakan menjadi salah satu kunci bagi terwujudnya perubahan. 

Namun apakah keberanian yang dimiliki kaum muda sudah cukup untuk menciptakan keadaan yang lebih baik? Dalam konteks republik, pertanyaan ini dapat menjadi: apakah kaum muda telah memahami benar apa itu kepentingan umum? Singkat kata memahami arah yang akan ditujunya dalam mengendalikan negeri ini? Dengan begitu, setidaknya gambaran atas arah tersebut mensyaratkan adanya sebuah pemikiran atau gagasan yang jelas.
  
Dalam sebuah republik, perubahan senantiasa mengarah pada kepentingan umum. Pendek kata, tujuan dari sebuah perubahan adalah kepentingan umum, bukan yang lain. Oleh karenanya untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik, kaum muda hendaknya juga memiliki sebuah gagasan baru yang mencerminkan kepentingan umum. Gagasan ini diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang selama ini gagal di selesaikan oleh sebuah gagasan lama. 

Dengan kata lain, gagasan baru yang ada adalah sebuah gagasan yang akan membawa pada tercapainya kepentingan umum. Bagaimana konkritnya? Tentu saja kaum muda harus menemukan sendiri jawabannya. Bagaimana caranya? Tidak lain dan tidak bukan dengan mengetahui sejarah serta kondisi riil bangsa maupun masyarakatnya. Seperti kata Montesquieu bahwa "Semangat yang mendasari Undang-Undang bukanlah hasil ciptaan penguasa melainkan tergantung pada kondisi riil sebuah negara." Jika kemudian gagasan itu akan mewujud dalam Undang-Undang maka gagasan itu tidak bisa tidak muncul dari kondisi riil sebuah negeri itu sendiri. 

Implementasinya tercermin dalam langkah sinergi antara keberanian menuangkan gagasan baru tersebut dalam sebuah kondisi (sistem) yang terlanjur berkarat. Harapannya sistem tersebut dapat dirombak atau diganti demi tercapainya kepentingan bersama. Karena kalau tidak, mustahil perubahan akan tercipta. Dalam hal ini apa yang dikatakan oleh Aristoteles akan senantiasa mengena untuk berulang kembali yakni “kaum muda adalah kaum yang idealis akan tetapi setelah mereka menjadi tua tak ada lagi yang dapat diharapkan karena mereka telah menjadi mapan dan justru berbalik menentang perubahan”.

Akhir kata, jawaban atas pertanyaan yang ditujukan untuk perubahan yang lebih baik adalah keberanian dan integritas atas gagasan baru. Dengan demikian jawabannya tidak terbatas pada sosok manakah yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan melainkan ada dalam jiwa-jiwa yang muda: yang senantiasa menginginkan perubahan dengan bekal konsistensi keberanian dan kreativitas maupun inovasi dalam mengusung gagasan baru. Yang tidak lain mencerminkan kepentingan umum serta diperoleh dari kondisi riil bangsa atau masyarakatnya sendiri. Bukan yang lain!

Jumat, 22 Oktober 2010

Pintu: Antara Luar dan Dalam

-Jika sebuah pintu dirusak maka ada sekat yang coba dirubuhkan

Pintu adalah sebuah penanda: antara luar dan dalam. Ia juga menjadi batas mana yang asing dengan mana yang bukan. Tapi apa yang terjadi jika pintu itu dirusak? Saya berpendapat, jika sebuah pintu dirusak maka ada sekat yang coba dirubuhkan. Ada batas yang coba ditelisik dan diusik. Dengan kata lain ada sebuah otoritas yang coba diterabas. 

***

Sore itu, sepulang dari bersepeda ria, aku memutuskan untuk segera mandi. Sehabis mandi tubuh kembali terasa sedikit bugar. Serta merta aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan berdiri di hadapan cermin sambil merapikan rambut. Namun dahaga terasa semakin tak tertahankan. Aku bergegas menuju angkringan karena bayang-bayang es tehnya yang sedap dan segar begitu menggodaku. Keluar kamar, aku tak lupa mengunci pintu. “Klek..Klek!!” aku pastikan pintu tertutup rapat. 

Setelah puas menenggak segelas es teh manis dan menyantap dua bungkus nasi kucing dengan beberapa gorengan, aku putuskan untuk pulang. Di perjalanan, aku teringat kalau aku belum membeli rokok. Terpetik untuk mampir di warung.Namun ketika melewati kamar kos, tampak sesosok orang sedang mengintip ke dalam kamarku dengan sedikit mengendap-endap. 

Laju sepeda segera kuhentikan tepat di seberang jalan. Kamarku ada di atas. Kuperhatikan dengan seksama untuk memastikan apakah aku mengenal sosok tersebut. Ternyata, aku benar-benar tak mengenalnya. Aku berbalik dan menuju kos. Dengan sedikit cemas, kutunggu di muka tangga paling bawah karena aku perkirakan ia akan turun. 

Dalam hati aku berkata, “Siapa orang ini?” Tak lama, orang itu pun turun. Aku segera bertanya, “Mau cari siapa mas?” Sosok itu terlihat kurus, berkulit kuning, berambut pendek rapi. Ia mengenakan celana jeans biru, kemeja kotak-kotak sambil membawa helm cakil, dan dipundaknya tercangklong tas berukuran kecil berwarna hitam.

“Mau cari kos mas,” ia menjawab dengan logat yang bukan Jawa. Aku perkirakan ia adalah seorang pendatang yang berasal dari Palembang (Sumatera) jika dilihat dari tampilan fisik dan logat bicaranya.

“Nyari kos kok ke atas, gak nanya ama pak kos?” aku perhatikan wajahnya yang sedikit acuh.

“Ia tadi di atas,” ia menjawab pertanyaanku dengan tergesa-gesa sambil berjalan keluar gerbang. Tak lama, terdengar suara motor yang segera menjemputnya dengan plat AAxxxxHK. Aku tak bisa melihat nomor kendaraannya.  

Aku perhatikan ia tampak berkeringat. Aku merasa ada yang aneh dengan orang ini karena sekilas wajahnya tidak mencerminkan kalau ia seorang mahasiswa. Selain itu jawaban dan tindakannya, jika ia benar-benar mencari kos, sungguh tidak logis. “Kenapa ia langsung ke atas,” hatiku bertanya dengan tidak percaya.

“Ah, peduli setan, toh kamarku masih tertutup rapat,” kataku dalam hati. Aku pun segera mengayuh sepeda menuju warung untuk membeli rokok. Tetapi hati dan pikiran ini tetap merasakan adanya suatu keganjilan.

Sekembalinya dari membeli rokok dan menaruh sepeda di tempat biasa, aku segera menuju kamar untuk menelusuri keganjilan yang kurasakan. Lampu di depan kamarku waktu itu belum kunyalakan. Semuanya terlihat gelap sekaligus sepi. Aku ambil kunci kamar dan kumasukan ke lubang kunci. Ternyata pintu tak dapat di buka. 

Kecurigaanku semakin menjadi-jadi. Dengan sedikit kupaksakan, pintu tetap tak terbuka karena kunci hanya dapat bergerak separonya saja. Darahku semakin mendidih, dan lampu pun kunyalakan untuk mengetahui masalahnya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, terbukti sudah keganjilan yang kurasakan: pintu kamarku telah dicoba untuk dirusak. Tampak goresan-goresan congkelan di sudut-sudut dekat daun pintunya.

Bekas-bekas congkelan itu seperti luka yang menganga. Seketika aku mengumpat, mendapati orang yang kuajak bicara tadi ternyata telah berniat jahat. Ia melukai pintu kamarku namun untungnya pintu masih tertutup rapat.  Ia tak berhasil menjebol dan menerobos masuk. Aku muntab!

Menyadari ada sebuah upaya untuk merubuhkan sekat, menelisik dan mengusik batas namun gagal. Pintu kamarku layaknya pasukan gajah di zaman Majapahit yang kaki-kakinya terluka terkena tombak namun berhasil mempertahankan sebuah otoritas yang coba dilanggar oleh kedegilan perusuh liar.

Senin, 18 Oktober 2010

Benda-Benda Mati

-Mahluk bernyawa tak sanggup mengkreasikan benda bernyawa tanpa bersekutu dengan mahluk senyawa sejenis lainnya. 

Waktu menunjukkan pukul 01.25 WIB. Ini dini hari. Aku masih terjaga sambil menikmati sebatang rokok. Pandangku tertuju pada monitor komputer. Jari-jariku bergerak pada tuts-tuts keyboard. Aku duduk membelakangi televisi, kulkas, rak buku, dan lemari pakaian di dalam kamarku. Tiba-tiba aku jadi berpikir tentang mereka: benda-benda penghuni kamarku ini.

Monitor, keyboard, kursi, televisi, kulkas, rak buku, lemari pakaian adalah benda-benda mati. Mengapa mati? Karena mereka hanya berdiam diri alias tidak tumbuh, bergerak, maupun berkembangbiak. Mereka tak bernyawa. Ya, karena mereka hanyalah ciptaan manusia. Mahluk bernyawa tak sanggup mengkreasikan benda bernyawa tanpa bersekutu dengan mahluk senyawa sejenis lainnya.

Mengapa manusia menciptakannya? Jawabnya tak lain ialah karena fungsi atau kegunaan. Inilah yang kemudian seolah-olah menjadikan benda-benda itu hidup. Tanpa ada faedah, manusia menganggap mereka hanya sebagai sampah. Benar-benar mati alias tak bermanfaat.

Benakku sekonyong-konyong tersentak ketika menyadari: Apa jadinya jika para karib-karib penghuni kamarku ini tak berfungsi lagi? Bagaimana jadinya bila komputerku mati, kulkasku mati, televisi mati, rak buku rusak, lemari pakaian jebol? Dengan kata lain semuanya tak berfungsi. Hmm..aku rasa aku akan kerepotan. Aku akan kliyengan dalam kesendirian.

Lantas kenapa benda-benda itu diciptakan kalau akhirnya juga membikin manusia, aku, merasa nanar?

Barangkali, manusia, aku, terlalu pandir untuk menyadari bahwa benda-benda yang pada mulanya diciptakan untuk menjarakannya(ku) (menjauhkan) dengan kematian itu tak pernah benar-benar mati. Semakin manusia, aku, menganggapnya mati, semakin didekatkan ia (aku) pada kematiannya(ku) sendiri. 

-Ini aku alami ketika beberapa waktu yang lalu tiba-tiba komputerku mati-

Minggu, 17 Oktober 2010

Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?

-Pembunuhan yang terjadi pada sosok Soekarno merupakan sebuah pembunuhan tak langsung

Dalam buku yang tersusun atas kumpulan tulisan Asvi Warman Adam, sejarawan Indonesia lulusan Sorbone ini -khususnya yang dimuat oleh harian Kompas, saya menemukan sebuah kenyataan bahwa Bung Karno telah mengalami proses pembunuhan sebanyak tiga kali. Kenyataan ini kemudian ditambatkan sebagai judul buku itu sendiri: Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Apa maksudnya tokoh yang terkenal dengan kemampuan pidato, retorikanya itu dibunuh tiga kali? Bagaimana bisa?

Pembunuhan atas sosok proklamator Indonesia itu bisa dikatakan sebagai suatu tindakan dalam tanda kutip: "dibunuh". Maksudnya Soekarno tidak dibunuh seperti halnya Presiden Amerika ke-35, John F. Kennedy, yang mati tertembak atau Gandhi yang tertembus peluru salah satu fanatiknya sendiri. Pembunuhan yang terjadi pada sosok Soekarno merupakan sebuah pembunuhan tak langsung yang meliputi diri, gagasan, berikut karakternya: entah sebelum ia benar-benar meninggal atau sesudah kematiannya yang sungguh-sungguh.

Gagasan mengenai sosok Soekarno yang dibunuh sebanyak tiga kali itu, yang dikemukakan oleh Asvi Warman Adam, berangkat dari pemahaman sejarawan Indonesianis asal Perancis Jacques Leclerc, yang pernah menulis buku: Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi, sebagaimana tertera dalam artikel pertama buku ini, yang juga jadi pengantar, yang menyebutkan bahwa "Pada tahun 1970, Soekarno telah dibunuh dua kali."

Kesimpulan Leclerc atas Soekarno yang dibunuh dua kali itu berangkat dari dua fakta. Pertama, tokoh proklamator Indonesia yang meninggal pada 21 Juni itu disebutkan tidak mendapat proses perawatan dan pengobatan penyakitnya yang wajar. Obat yang harusnya diberikan untuk penyakit Soekarno, ternyata resepnya, yang diberikan oleh dokter Mahar Mardjono, disebutkan, tidak ditebus dan justru hanya tersimpan rapi, disembunyikan di dalam laci meja. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: obat apa yang diberikan pada mantan Presiden pertama Indonesia itu? Pertanyaan inilah yang memunculkan adanya indikasi pembunuhan tak langsung (pertama) atas diri Soekarno.

Kedua, terjadi pelarangan peringatan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, yang bukan kebetulan berbarengan dengan hari lahir Soekarno. Oleh Leclerc, hal ini dianggap sebagai suatu praktik pembunuhan kedua yaitu upaya pembunuhan gagasan Bung Karno; yang prosesnya kemudian dilakukan secara aklamasi-sistematis yakni dengan sebuah pernyataan bahwa gagasan mengenai Pancasila bukanlah hasil pemikiran Bung Karno.

Dari gagasan Leclerc mengenai Bung Karno yang dibunuh dua kali itu, Asvi Warman Adam kemudian mengungkapkan, secara tidak langsung, adanya indikasi pembunuhan yang ketiga: pembunuhan karakter Soekarno, dalam kesimpulan sebuah buku yang dikarang oleh Antonie C.A. Dake, warga negara Belanda, yang berjudul Soekarno File, Berkas-Berkas Soekarno, Kronologi Suatu Keruntuhan, yang diterbitkan kembali pada 17 Novemver 2005. Buku yang sebelumnya merupakan sebuah disertasi yang telah berumur 30 tahun, dengan judul asli: The Devious Dalang: Soekarno and The So-called Untung Putsch, Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko itu menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa Soekarno adalah dalang sebenarnya dari tragedi yang menimpa Indonesia pada tahun 1965. 

Dalam hal ini, kesimpulan yang termuat dalam buku itu seolah merupakan peluru yang ditembakan ke arah citra Soekarno; menjadi peluru yang menembus sosok Soekarno yang hidup sebagai sebuah bayangan, sebuah nama. Dengan kata lain, buku itu sendiri adalah upaya pelenyapan Soekarno sebagai citra itu sendiri: proses peminggirannya dalam panggung sejarah Indonesia, yang ironisnya pernah jadi tempat yang mementaskan lakonnya. Di sinilah pembunuhan ketiga itu berlangsung.

Mendapati kenyataan tersebut, saya jadi berpikir: betapa kehidupan Soekarno merupakan sebuah tragedi tanpa akhir, seperti halnya peristiwa tragik yang terjadi pada tahun 1965, yang hingga kini tetap, terus menerus menghadirkan polemik. Ya, tak salah jika Ong Hok Ham, sejarawan Indonesia itu mengibaratkan Soekarno sebagai Hamlet dalam karya Shakespeare: kisah akhir hidupnya sama-sama berujung dengan tragedi.

Mengenai hal ini saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah tragedi Soekarno akan berakhir jika sejarah tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 itu terungkap kebenarannya? Mungkinkah kisah hidup Soekarno tak berujung seperti halnya kisah Hamlet? Karena dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan Asvi Warman Adam dalam bukunya tersebut: tragedi yang menimpa Soekarno sebetulnya juga merupakan tragedi bangsa Indonesia. 


Rabu, 06 Oktober 2010

Kereta Senja


-Kereta itu ibarat dunia ini. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan di dalamnya. Setiap perjalanan punya arah yang berbeda tapi, sekali lagi tapi, arah yang berbeda itu pasti bermuara, berujung, sebagaimana ia bermula atau berpangkal, ya dari sebuah stasiun.
 
Matanya bersembunyi di balik kacamata hitam. Bibirnya ketam. Kepalanya tampak mendongak. Tubuhnya bersandar pada salah satu tiang penyangga sambil mendekap kedua tangan. Kakinya bersila. Pakaiannya batik kusam coklat tua lengan panjang dengan motif parang rusak. Celananya panjang berwarna hitam kepam. Tak jelas terbuat dari kain apa. Melihatnya sekilas, ia seperti sedang bersemedi; sedang menjajal ilmu rogoh sukmo barangkali.

Tenang-tenang aku duduk di kursi tunggu penumpang yang kebetulan berseberangan dengan lelaki tua itu. Aku cukup leluasa untuk memperhatikannya dengan seksama meski sebenarnya ia tak lebih menarik ketimbang gadis-gadis cantik yang hendak mudik atau sekedar menghantar kekasih mereka yang akan pulang pergi. Ya, lelaki tua itu tetap diam terpekur. Ah, apa mungkin sebenarnya ia sedang tidur? Dan, huh, memang apa peduliku?

Tak lama kemudian ia melepas kacamata hitamnya, meletakannya di saku baju. Aih, masih juga terkatup kedua matanya itu. Dan benarlah apa yang kuduga: ia memang benar-benar tertidur. Dan kacamata hitamnya itulah yang menyembunyikan tilamnya dalam-dalam dari perhatian.

Kereta Pramek jurusan Solo mendengung: tanda keberangkatan. Pak tua itu acuh, tak teralihkan pandangannya oleh bising kereta. Tak lama kemudian, tiba-tiba ia menatapku setelah kedua matanya yang sayup itu terbuka. Hmm..bibirnya masih juga ketam. Aku pun, ya, agak-agak terkesiap juga jadinya.  

“Boleh minta rokok?” tanyanya padaku tanpa sungkan dan memaksa. Suaranya datar, agak serak,  dan tidak tegas. Memang baru bangun dari tidur yang kusyuk ia rupanya.

Wah, celaka, aku semakin kaget dibuatnya dengan pertanyaan yang tiba-tiba tak kuduga itu. Tanpa berusaha menampilkan ekspresi keterkejutanku, aku segera menatapnya dengan mata sedikit terpicing dan dahi terkernyit seperti tak peduli. “Ah, kebetulan saya sedang bersenang hati, jadi silahkan ambil sesuka bapak saja.” Mataku segera kuhindarkan dari pandangannya sambil menyulurkan bungkus rokok kretek Dji Sam Soe kepadanya. Aku segera menyaksikan, memandangi, dengan hikmat kereta yang melaju dengan kecepatan sedang itu. Pelan, pelan, lalu semakin kencang, dan kencang, persis seperti ular.   

Tanpa ragu, ia lekas mengambil rokok yang kusulurkan. Hanya sebatang. Segera juga ia menyulut rokok itu dan meletakan bungkus rokoknya di sebelahku sambil mengucapkan terima kasih. Dan ia pun kembali ke posisi semula, berhadap-hadapan denganku lagi. Kereta yang tadi melaju sedang semakin menjauh meninggalkan stasiun ini. Tak terlihat lagi.  

Pandangku pun kini kembali pada lelaki tua itu, yang aku kira usianya mirip-mirip kakekku sendiri. Terlihat jelas bagaimana kemudian ia menghisap rokok itu dalam-dalam.

“Saya juga suka kereta. Sudah sejak kecil saya menyukainya, sejak pertama kali saya melihat dan menaiki kendaraan itu. Terlalu banyak cerita yang kini jadi kenangan saya tentang kereta. Ya, terlalu banyak. Makanya saya juga suka menyendiri di stasiun Lempuyangan ini. Sama seperti anak saat ini.”

Aku segera menyulurkan senyum padanya dan melontarkan pertanyaan yang nyeletuk begitu saja. “Bagaimana bapak tahu kalau saya sedang menyendiri?” tanyaku sedikit menyelidiki.

“Ah, mudah saja.” Ia tak meneruskan kata-katanya. Hanya tersenyum kecil. Terlihat giginya yang sudah ompong tiga pada bagian atas.

Aku tahu, jawabannya yang tak diteruskan itu adalah usaha untuk membuatku semakin memperhatikannya. Boleh dikata, ia menangkap pertanyaan itu sebagai basa-basi saja. Tak penting untuk dijawab serius. Oleh karenanya, aku hanya menimpalinya dengan senyum terkulum, tak berusaha mencari tahu atau semakin merasa penasaran.

Tapi tak lama kemudian ia berkata lagi. “Kereta itu ibarat dunia ini. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan di dalamnya. Setiap perjalanan punya arah yang berbeda tapi, sekali lagi tapi, arah yang berbeda itu pasti bermuara, berujung, sebagaimana ia bermula atau berpangkal, ya dari sebuah stasiun. Dan stasiun ini hanyalah salah satunya”.

Ia menatapku dalam-dalam dengan matanya yang mulai sayu itu. Ia seperti sedang menapaki ketangguhan mentalku untuk mencerna kata-katanya. Dan, tak salah karena memang aku tercengang mendengar kata-katanya itu. Aku sungguh-sungguh takjub dibuatnya. Aku sedikit goyah. Bagaimana mungkin orang yang tak kukenal ini tiba-tiba berbicara tentang sesuatu yang sungguh serius. Tapi tentu saja, aku sembunyikan wajah kagumku itu.

“Ya, barangkali bapak benar. Tapi saya tak sungguh-sunguh paham dengan apa yang bapak maksudkan. Kalau dunia ini adalah kereta, apakah stasiun ini bukan juga sebuah dunia?” Aku pura-pura saja tak paham kata-katanya itu.

“Ya juga dunia, tapi sebuah dunia yang lain.”

Aku semakin terpacu untuk terus bertanya atas jawabannya itu. “Lantas bagaimana dengan kereta yang tak sampai pada sebuah stasiun?”

“Ya itulah yang dinamakan kecelakaan atau bencana. Akan ada banyak orang yang mati jika sebuah bencana terjadi. Keluarga saya salah satunya. Dan saya, satu-satunya yang selamat dalam bencana tersebut. Istri dan keempat anak saya adalah korban dari sebuah bencana dunia. ”

Aku terharu sekaligus terkejut mendengarnya. Terus terang aku bingung untuk berkata-kata.

“Maaf pak saya tidak...” tiba-tiba ia memotong dengan cepat. “Tak ada yang perlu dimintai maaf. Semua sudah terjadi. Dan saya sudah bisa menerimanya meski terus terang saja, butuh waktu lama untuk bisa merasa ikhlas.”

“Ya, saya bisa merasakannya pak.” Aku sedikit menunduk waktu mengucapkannya.

“Terima kasih.” Suara dengungan terdengar lagi. Tak lama kemudian bertalu suara yang memberitahukan kedatangan sebuah kereta kelas ekonomi dari Jakarta. Ponselku segera berdering. Sebuah pesan masuk, dari seorang kawan yang hendak kujemput. Aku segera berpamitan dengan lelaki tua yang tak kuketahui namanya itu.

“Permisi pak, kereta yang saya tunggu sudah datang. Saya ke sini mau menjemput kawan. Itu dia sudah kelihatan. Bapak masih tetap akan di sini?”

“Oh ya silahkan. Saya salah kira. Saya kira anak sedang menyendiri di stasiun ini seperti saya. Saya tetap di sini nak menunggu kereta juga, kereta senja, yang membawa saya pada stasiun tempat perjalanan kehidupan saya berakhir.”

Wah dramatis juga orang tua ini, pikirku dalam batin. “Ya, sudah kalau begitu permisi pak, mari.”

“Selamat tinggal, selamat tinggal,” ucapnya ketika kulambaikan tangan....