Selasa, 21 Desember 2010

Putu Wijaya Mampir Magelang


-Karya-karyanya adalah sebuah jebakan bagi para pembacanya

Sabtu, 1 Mei 2010, pukul 17.05 WIB, aku dan Topik bergegas menuju Magelang. Di sana kami akan menyaksikan pementasan monolog Putu Wijaya dengan judul “Mpu” yang dilangsungkan di gedung Ahmad Yani, Jalan Gatot Subroto, pada pukul 19.30 WIB. Kami berangkat lebih dini dari Jogja supaya tidak terlambat karena masih harus menghampiri beberapa teman lagi di sana. Di tengah perjalanan, kemacetan ternyata adalah hal yang tak dapat dihindari. Apa mau dikata, roda empat yang kami kendarai terpaksa melaju pelan-pelan layaknya kura-kura dalam perahu: “Dari kejauhan, beberapa polisi yang nongkrong di pos pura-pura tidak tahu dengan kemacetan itu.”  

“Hmm..Pukul berapa kita akan tiba di sana kalau jalannya begini?” aku bertanya pada Topik yang sedang menyopir di sebelahku.

“Tenang saja. Kalaupun terlambat pasti tidak akan terlambat amat. Nanti setelah perempatan di depan, kita akan cari jalan pintas.” Jawabnya dengan sangat sabar.

“Ide bagus itu. Rasa-rasanya jalanan ini seperti jalan menuju Puncak, yang selalu ramai di akhir pekan, tempat orang-orang Jakarta bersembunyi dari kepongahan mereka sendiri,” timpalku kepadanya.

“Haha..analogi yang menarik. Kota-kota modern memang tak bisa untuk tidak menyisakan kesimpulan tentang persoalan yang serupa bagi para pemerhatinya..” Kali ini kami tertawa bersama. Suara klakson semakin lama semakin membising, baik dari depan maupun belakang.   

Di tengah-tengah kemacetan ini, benakku jadi melayang kemana-mana. Pikiranku bertanya-tanya juga mengingat-ingat. Salah satunya adalah tentang sosok Putu Wijaya, sang lakon utama: Si Mpu yang kali ini mampir Magelang kota gemilang.

***

Beberapa hari sebelumnya, ketika Topik, yang kini duduk disebelahku sambil menyopir mobil ini, menawarkan ajakan untuk menonton pementasan Putu Wijaya, aku langsung setuju tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Bagaimana tidak?

“Itukan pementasan seorang sastrawan senior dan penggiat teater kawakan,” tukas bawah sadarku agak sedikit memaksa untuk mengiyakan ajakan tersebut.

Putu wijaya? Aku mengetahuinya pertama kali dari seorang guru pelajaran bahasa Indonesia sewaktu SMA, Pak Hengky namanya. Ia mengenalkan bahwa Putu Wijaya adalah seorang sastrawan, penulis novel, cerpen, dan  juga pemain teater yang cukup terkenal.

Perkenalan itu juga diisi oleh Pak Hengky dengan membacakan salah satu cerpen Putu Wijaya yang berjudul “Kepala” secara utuh kepada kami, murid-muridnya di kelas. Sayang, tak banyak yang aku ingat dari cerita itu selain pramugari yang menawarkan “kepala” kepada salah satu penumpangnya yang tak punya kepala.

Yang aku tahu, waktu itu kami, murid-murid di dalam kelas, kebingungan untuk bisa memahami isi ceritanya dengan gaya yang berbau surealis itu. Dan ketika Pak Hengky selesai membacakan cerita tersebut, ia menanyakan apakah ada yang paham dengan isi ceritanya? Sejauh yang aku ingat, waktu itu kami semua hanya terdiam seperti batu-batu karang di pantai. Beberapa temanku yang duduk paling belakang pun terlihat sudah tertidur pulas dengan bibir yang menganga.  

Kesan dari perjumpaan pertama dengan karya Putu Wijaya yang berakhir dengan kebingungan itu lantas membuatku tak begitu tertarik dengan karya-karyanya yang lain. Aku mengacuhkannya karena tak ada elan juga kenikmatan yang aku peroleh ketika membacanya.  

Akan tetapi pandanganku terhadap karya-karya Putu Wijaya kemudian berubah 180 derajat setelah aku membaca karyanya yang lain, sebuah novel: “Pabrik”. Novel ini aku temukan di antara koleksi buku milik tante Ida, ibu temanku, Dadik, di perpustakaan kecilnya. Terus terang, waktu itu aku juga heran kenapa tiba-tiba tertarik dengan novel tipis itu. Barangkali karena sampulnya yang berwarna kuning, sedikit mencolok diantara buku-buku yang lain, sehinga menarik perhatianku untuk membacanya.

Setelah selesai membaca “Pabrik”, aku dapati élan dan kenikmatan, berbeda dengan kesan pertama dari cerpennya yang berjudul “Kepala”. Novel tipis ini bergaya realis meskipun fiksi, tidak absurd, dan dapat dicerna dengan mudah. Dalam novel ini aku menemukan sebuah gambaran tentang kondisi sosial masyarakat industri yang kompleks. Aku juga menemukan bahwa ternyata Putu Wijaya adalah salah seorang pengarang yang cerdas dengan tidak menghitam-putihkan karakter- karakter tokoh (manusia) di dalamnya. Ia mengeksplorasi sifat-sifat manusia secara detail melalui tokoh-tokohnya dengan menunjukan pergolakan batin lewat percikan pemikiran tokoh-tokoh di dalamnya. Singkatnya, dalam karya ini aku menemukan kesan bahwa Putu Wijaya adalah salah satu pengarang yang suka untuk menjebak pembacanya sendiri. Dengan kta lain, karya-karyanya adalah sebuah jebakan bagi para pembacanya.

***

Roda empat memasuki kota Magelang sekitar pukul 18.39 WIB. Lalu kami menjemput dua orang teman di sana, di daerah Ngasem. Setelah itu baru kami menuju gedung A. Yani.

Sesampainya disana ternyata kami tidak terlambat. Kami sampai pada pukul 19.26 WIB dan pementasan belum dimulai. Kami mengantri untuk membeli tiket. Kami membeli tiket kelas festival seharga Rp. 20.000, dan duduk di muka panggung bagian belakang bersama penonton lainnya yang telah lebih dulu menunggu. Tak lama kemudian pementasan dimulai. Aku terdiam, asyik memperhatikan. Pikiranku kini tidak melayang-layang dan bertanya-tanya lagi. Tapi dalam pembukaan itu, sang ‘mpu’ belum muncul. Hmm…

Bulan dalam Lamunan


-Ah, bulan andai saja kau tahu begitu banyak sajak terbuat untukmu.

Malam ini hujan. Langit yang sebelumnya begitu merah, akhirnya memuntahkan bulir-butir air yang jatuh dengan jeram. Seturut perhitungan titi mangsa, semestinya malam ini tak ada hujan; karena malam ini, ya, malam ini, adalah bagian dari malam-malam musim kemarau yang panjang, bukannya penghujan.

Malam ini hujan turun, mungkin, berbarengan dengan peri-peri mimpi yang setiap malam, setelah pukul sembilan, menceritakan dongeng dalam tidur anak-anak. Ya sudah, biarlah, biar hujan yang turun malam ini merinaikan nyanyian penghantar bagi dongeng-dongeng yang dituturkan oleh peri mimpi itu ditilam anak-anak. Biar juga tidur anak-anak semakin nyenyak, senyenyak tukang becak yang tidur di pinggir jalan yang gelumat oleh bahana kendaraan roda dua, tiga, dan empat, enam, delapan; ya, dimana lagi kalau bukan di atas becak. Dan, tentu saja, malam ini tak ada bulan di langit muram.

Tapi, andai kata malam ini tak hujan, tentu saja, bulan akan gilap-gemilap membagi adil cahaya ke bumi. Di atas langit yang cerah, bulan akan serupa batu topaz kuning yang belum dilampas, atau barangkali, seperti Kyaiktiyo Pagoda yang tergantung di atas langit bukannya di negara Mon, Burma, di atas bumi.

Bulan akan merona laksana pipi merahmu yang tersipu karena menahan malu. Bulan..bulan..merah jambu, begitu kata salah satu lagu yang memujamu. Tapi tahukah kau bahwa bulan tak pernah tidur. Tak pernah ia bisa bermimpi, padahal ingin sekali ia bermimpi. Ingin juga ia membagi cerita tentang mimpinya itu pada mereka yang senantiasa memandanginya telanjang di malam-malam bersama bintang gemintang. Bersama angin sepoi-sepoi yang mendayu-dayu seperti lagu melayu itu.

Ah, bulan andai saja kau tahu begitu banyak sajak terbuat untukmu. Begitu banyak juga lukisan tentangmu: dari bulan sabit, bulan purnama, bulan keropos, bulan ditelan awan, juga bulan lupa ingatan. Ah, andai saja bulan kau tak pernah ada di alam raya semesta, di langit sana, di bentangan cakrawala malam itu, mungkin aku tak akan pernah menuliskan ini untukmu. Ya, tak akan pernah...    

Gelandangan

-Ia tak ubahnya kaktus yang hidup di padang pasir

Hari makin sebam dalam senja yang semakin merah. Lalu lalang kendaraan juga semakin padat dan berisik seperti barisan semut yang hendak pulang. Namun keramaian itu membuatnya tetap tak bergeming. Ia begitu acuh dengan sekelilingnya. Ia tak hirau pada terang dan petang, sepi maupun ramai. Barangkali, semua itu baginya sama saja. Ia tak ubahnya kaktus yang hidup di padang pasir.  

Temaram lampu kota mulai menyala seiring dengungan adzan maghrib yang bertalu-talu. Cahaya-cahaya yang remang itu pelan-pelan menggantikan keindahan lembayung senja di sudut-sudut yang dihampiri gelap. Dari kejauhan, samar-samar bulan yang hanya separo tampak sedang mengawasi dunia dengan iringan biduk-biduk bintang. Dan malam itu pun terasa begitu cerah.

Gelandangan yang tampak letih dan rentan itu berbaring di emperan sebuah toko yang telah lama kosong. Pada roling door tubuhnya bersandar, tertera tulisan “dikontrakan hub: 081XXX”. Tulisan itu menggantung tepat di atas kepalanya pada sebuah papan persegi panjang berwarna putih. Entah sudah berapa lama ia berbaring di sana. Mungkin, ia sendiri tak peduli.  

Wajahnya yang kusam dan dekil berselimutkan jambang, kumis dan jenggot yang tumbuh lebat. Rambutnya pun terurai serampangan, kusut tak terurus. Pakaiannya sungguh lusuh seperti tercabik-cabik usia. Tubuhnya sangat kurus dengan wajah yang juga tirus, barangkali karena ia jarang makan. Dan sepertinya rasa marah karena lapar itu terhempaskan dalam kebisuannya yang beku. Tak nampak sepatah kata terucap dari bibirnya yang pucat lesi. Mulutnya tertutup rapat. Ia hanya memandang jalanan yang sedikit lengang dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada di benaknya.

Beberapa saat kemudian, dari arah seberang, terlihat seorang bocah, berusia kira-kira enam tahun, berjalan dengan riangnya. Bocah itu adalah anak dari pemilik kios photo copy, beberapa meter di seberang emperan toko kosong. Ia berjalan sambil menggenggam uang pecahan sepuluh ribu. Ia menyeberang ke arah toko es krim, dua blok dari tempat gelandangan. Bocah itu menyeberang ketika jalanan sepi kemudian masuk ke dalam toko.

Tak lama berselang ia keluar dari balik pintu dengan membawa sebuah es krim dan uang lima ribuan. Ia pun bergegas kembali dengan mata yang berbinar-binar. Sepertinya ia sudah tak sabar untuk menikmati es krim tersebut. Ia berjalan lamat-lamat karena jalanan terlihat ramai. Tapi kali ini ia berjalan melewati emperan tempat gelandangan berbaring.

Tiba-tiba ia berhenti di hadapan gelandangan itu. Ia memandang dengan pilu dan was-was. Gelandangan membalas tatapan itu dengan sekilas lalu. Ia tetap diam, berusaha tak mempedulikannya. Bocah itu juga tampak termangu, mungkin karena bingung atau tak tahu harus berkata apa. Tanpa diduga, bocah itu memberikan uang lima ribu rupiah yang ada dalam genggamannya kepada gelandangan itu. Diletakkannyalah uang itu di samping tubuh gelandangan yang terkulai lemah. Mungkin ia iba memperhatikan gelandangan itu. Dan sepertinya ia memang diajarkan untuk memberi dan bersedekah. Ia adalah bocah yang baik, yang masih polos hatinya.

Gelandangan terkejut. Ia terbangun dengan terbata-bata. Namun bocah itu tanpa disangka-sangka juga terkejut. Mungkin karena takut, ia lekas berlari menyeberang jalan. Gelandangan berusaha memanggil dan mengejar, namun ia tertatih berjatuhan. Tiba-tiba dalam pandangan yang sedikit samar, gelandangan melihat bocah itu tertabrak oleh motor yang melintas dalam keadaan cepat. Seketika saja bocah itu jatuh tergeletak tak sadarkan diri di jalanan. Kepalanya berlumuran darah tak berdosa. Pengemudi motor itu pun terpelanting jatuh ke tepi jalan. Beruntung pengemudi itu tak apa-apa. Ia segera bangun dan mengangkat bocah itu ke tepi. 

Seketika jalanan menjadi sedikit macet. Orang-orang yang ada di sekitar berlari untuk menolong. Bocah itu dibopong menuju kios photo copy. Tak lama kemudian pecah suara tangis dari seorang perempuan. Barangkali ibu dari bocah itu. Sebuah mobil sedan berwarna hitam pun melenggang kencang menghantar bocah itu ke rumah sakit. Sementara pengemudi yang menabrak bocah itu kini terduduk lesu sambil membersihkan luka di siku tangannya. Ia duduk di sebelah gelandangan yang wajahnya menjadi mendung muram.       

Dalam hati gelandangan itu kini terbesit mendalam kekecewaan. Ia rasakan adanya gumpalan-gumpalan mendung di dirinya yang sudah bergemuruh dan siap menghempaskan badai yang besar. Badai yang akan meluluh-lantahkan dirinya sendiri dari kedegilan serta segala kenistaanya. Mendung itu semakin lama semakin tebal menyelimuti hatinya.