Kamis, 30 September 2010

Pasar Malam

 -Pasar malam bukanlah dunia dan dunia bukan pasar malam!

Sewaktu kecil, bersama dengan para tetangga di kampung, aku sekeluarga pergi menuju pagelaran pasar malam. Waktu itu sekitar pertengahan tahun 90-an, kami pergi diangkut kijang pikep, sebuah kendaraan dengan bak terbuka, berwarna biru. Para orang tua duduk berjejer di pinggiran, sementara anak-anak duduk bergerumul di antaranya, di tengah. Betapa girangnya aku waktu itu. Angin malam yang dingin, yang biasanya terasa menggigit-gigit pori-pori kulit pun seperti kehilangan taringnya. Bukan masalah. 

Ya, pasar malam memang sebuah hiburan yang mewah bagi kami, warga kampung. Di sana, di antara komedi putar, odong-odong, rumah hantu, serta para pedagang dalam gemerlapan lampu yang terang, dll, pasar malam penaka dunia dalam fantasi anak-anak; dunia yang ingin diraih, ditinggali, dimiliki, sebagai yang paling ideal. Barangkali, bagi anak-anak, pasar malam itu adalah imaji surga yang sering diceritakan orang tuanya. Dengan begitu, pasar malam bukanlah dunia, sesuatu yang imanen, melainkan surga, sesuatu yang transeden.     

Dan saat itu, aku juga bertanya-tanya: mengapa rombongan pasar malam itu tak pernah mampir ke kampung kami? Padahal kami juga punya sebuah lapangan terbuka sebagai tempat pergelaran di dekat kecamatan, yang sama dengan lapangan yang kami kunjungi malam itu. Pertanyaan itu tak pernah kulontarkan kepada siapapun termasuk kedua orang tuaku yang biasanya selalu jadi tokoh idola yang sanggup menjawab segala kebuncahanku saat kecil. Ya, itu memang tak lebih dari sebuah pertanyaan anak-kanak. Jawabannya pun tak pernah aku dapatkan namun pertanyaan itu masih tersimpan rapi dalam lemari ingatanku. 

Bukan, aku tak akan menjawab pertanyaan kanak-kanakku itu saat ini. Ingatan akan pertanyaanku itu justru muncul kembali sewaktu, beberapa waktu yang lalu, aku membaca sebuah novel yang berjudul "Bukan Pasar Malam" yang dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer, salah seorang pengarang Indonesia yang paling hebat menurutku. Pram, begitu ia sering disapa, adalah seorang pengarang yang punya keyakinan bahwa dengan menulis, orang tak akan digulung sejarah. Menulis adalah menyejarahkan diri, seperti harimau mati meninggalkan belang sementara gajah mati meninggalkan gading. Menulis, barangkali, adalah sebuah upaya mengekalkan kehidupan dalam kematian. 

Novel "Bukan Pasar Malam" bukanlah roman. Novel setebal 106 halaman itu, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1954, menurutku, adalah sebuah novel yang terinspirasi oleh kisah hidup, biografi, dari pengarangnya. Novel yang mengambil setting beberapa tahun pasca kemerdekaan itu menceritakan seorang anak, dalam novel itu disebutkan sebagai "Aku", bersama dengan adik-adiknya, dalam menghadapi peristiwa kematian ayahnya yang mengidap penyakit TBC akut. Si "Aku", dalam novel itu, adalah anak tertua dan yang paling sering cekcok, bertengkar, tidak cocok dengan sang ayah di antara yang lain. Meski dalam kenyataannya percekcokan itu menghadirkan sedikit kebencian dan kemarahan bagi keduanya namun pertengkaran itu bukanlah hal yang merenggut, menghilangkan, membunuh rasa cinta di antara ayah dan anak itu secara permanen. 

Dan di saat-saat terakhir menjelang ajal ayahnya, si "Aku" akhirnya mengerti  bahwa yang terjadi di antara mereka selama ini tak lebih dari ungkapan rasa cinta yang begitu mendalam, yang hadir seolah-olah sebagai sebuah pertentangan prinsip. Dalam detail-detail cerita novel itu kemudian disebutkan bagaimana pandangan teman-sahabat-karib, orang yang mengenal ayahnya sewaktu melayat. Berbagai cerita mengenai ayahnya yang "Aku" dengar itu akhirnya membuat pandangannya berubah 180 derajat, dari meremehkan menjadi mengagumi bahwa ayahnya adalah seorang guru dengan rasa keperwiraan yang tinggi terhadap bangsanya serta telah berjuang dan mengorbankan banyak hal demi kemerdekaan bangsanya itu. Meski rasa nasionalisme dan patriotisme yang besar itu telah merenggut perhatian yang seharusnya tercurah bagi anak-anak dan keluarganya. Si "Aku" akhirnya memahami bahwa di balik kecilnya perhatian seorang ayah terhadap anak-anaknya, yang secara khusus memicu rasa marah di diri "Aku" kepada ayahnya, ternyata ayahnya itu adalah salah seorang manusia hebat yang pernah ia kenal. 

Dalam menghadapi sebuah peristiwa kematian itu, di antara rasa sedih yang menggempakan jiwanya, "Aku" mendaku hikmah sebagai sebuah pemahaman tentang hidup, tentang dunia itu sendiri: 
Dunia ini tidak seperti pasar malam, dimana manusia berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang, seperti dunia pasar malam, seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana.
Ya, Pram memang hebat. Dengan tepat ia merefleksikan serta menangkap arti dalam sebuah pengalaman hidup. Walhasil judul novel tipis tersebut pun seolah juga jadi intisari dari keseluruhan cerita: "Bukan Pasar Malam" yang merujuk pada arti semesta itu sendiri: menjadi perumpamaan, sebuah metafora bahwa yang disebut sebagai dunia bukanlah sebuah pasar malam. Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam.

Kini, dalam benakku ada dua buah pemahaman perihal pasar malam yang berkelindan satu sama lain. Apabila kemudian pemahaman kanak-kanakku mengenai pasar malam dipertemukan dengan pemahaman dalam novel Pram itu maka dapatlah dikatakan bahwa pasar malam bukanlah dunia dan dunia bukan pasar malam. Sudah pasti ini bukan jawaban atas pertanyaanku sewaktu kecil dulu melainkan sebuah pemahaman segar tentang dunia. Jika dulu, sewaktu kecil, kami memang datang dan pulang dengan berduyun-duyun menuju pasar malam namun kelak, sebagaimana kami tak dilahirkan serentak, kami akan pulang masing-masing menuju pasar malam yang bukan dunia itu.    


   

Rabu, 29 September 2010

Menghayati Kehidupan

 
-La Vita E Bella!   

Dalam benak saya, sering muncul pertanyaan-pertanyaan tentang apa hidup ini, dan untuk apakah juga hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan itu, bagi saya, layaknya sebuah kolom dalam teka-teki silang, entah mendatar atau menurun, pada sebuah koran, yang sulit untuk dipecahkan meski telah terdapat beberapa huruf sebagai kata kuncinya. Ya, begitu susah meski telah memutar otak sampai 360 derajat sekalipun. Dan, kiranya teka-teki disebut sebagai sebuah pertanyaan yang menghantarkan seribu pertanyaan maka seperti itu jugalah pertanyaan saya tentang hidup ini. 

Tentu, tentu saja, pertanyaan semacam itu pernah dialami oleh siapa saja pada kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkannya muncul dengan serta merta dan lugu, konyol, dan terkadang terasa menggelikan. Sebuah kondisi yang menempatkan seseorang itu merayapi dirinya sendiri: berkontemplasi, merenung, tafakur, termenung dalam sebuah kesadaran tentang aku, dia, dan juga dunia ini, yang umumnya diartikan sebagai sesuatu yang filosofis. Ada sebuah pendapat menarik dari Andrea Hirata, seorang penulis asal Belitong, mengenai hal ini dalam novelnya yang berjudul Edensor: 
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahaya-cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbang rel tadi. Analogi eksperimen itu tak lain karena kecepatan cahaya bersifat sama dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong maka pengalaman yang sama dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat apa penglaman yang sama tadi memberi pelajaran pada seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain
Apabila sampai saat ini saya belum dapat menemukan jawaban atas teka-teki silang ihwal hidup ini yang muncul dalam benak saya, seturut dengan pendapat tersebut, itu artinya saya belumlah cukup untuk dianggap telah mendapatkan sebuah pelajaran, ilham, dari sebuah pengalaman yang sifatnya absolut, atau yang dalam analogi Hirata disebut sebagai cahaya-cahaya yang melesat-lesat dalam gerbang rel kereta api, yang dalam hal ini dapat menimpa atau dialami oleh siapa saja dalam kondisi-kondisi yang memungkinnya timbul.

Untuk menemukan, menangkap, dan mendapatkan sebuah pelajaran, amanat, makna, atau jawaban itulah dalam hal ini saya akan merangkai benang-benang cahaya-cahaya yang melesat-lesat itu dalam sebuah julujur yang kemudian disebut sebagai catatan, pada pembiasannya dalam aneka warna. Dan sepertinya tak ada pilihan lain, selain menghayati kehidupan itu sendiri!  

Ya, karena hidup ini, sebagaimana diungkapkan oleh Roberto Benigni, seorang aktor, sutradara, sekaligus penulis film asal Italia yang pernah memperoleh nominasi Academy Award, dalam salah satu film dan judul filmnya, begitu indah: Life is Beautiful! La Vita E Bella! Dan, salah satu jalan untuk menemukan sekaligus merasakan bentuk keindahan dalam hidup ini ialah dengan menghayatinya.