Selasa, 21 Desember 2010

Gelandangan

-Ia tak ubahnya kaktus yang hidup di padang pasir

Hari makin sebam dalam senja yang semakin merah. Lalu lalang kendaraan juga semakin padat dan berisik seperti barisan semut yang hendak pulang. Namun keramaian itu membuatnya tetap tak bergeming. Ia begitu acuh dengan sekelilingnya. Ia tak hirau pada terang dan petang, sepi maupun ramai. Barangkali, semua itu baginya sama saja. Ia tak ubahnya kaktus yang hidup di padang pasir.  

Temaram lampu kota mulai menyala seiring dengungan adzan maghrib yang bertalu-talu. Cahaya-cahaya yang remang itu pelan-pelan menggantikan keindahan lembayung senja di sudut-sudut yang dihampiri gelap. Dari kejauhan, samar-samar bulan yang hanya separo tampak sedang mengawasi dunia dengan iringan biduk-biduk bintang. Dan malam itu pun terasa begitu cerah.

Gelandangan yang tampak letih dan rentan itu berbaring di emperan sebuah toko yang telah lama kosong. Pada roling door tubuhnya bersandar, tertera tulisan “dikontrakan hub: 081XXX”. Tulisan itu menggantung tepat di atas kepalanya pada sebuah papan persegi panjang berwarna putih. Entah sudah berapa lama ia berbaring di sana. Mungkin, ia sendiri tak peduli.  

Wajahnya yang kusam dan dekil berselimutkan jambang, kumis dan jenggot yang tumbuh lebat. Rambutnya pun terurai serampangan, kusut tak terurus. Pakaiannya sungguh lusuh seperti tercabik-cabik usia. Tubuhnya sangat kurus dengan wajah yang juga tirus, barangkali karena ia jarang makan. Dan sepertinya rasa marah karena lapar itu terhempaskan dalam kebisuannya yang beku. Tak nampak sepatah kata terucap dari bibirnya yang pucat lesi. Mulutnya tertutup rapat. Ia hanya memandang jalanan yang sedikit lengang dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada di benaknya.

Beberapa saat kemudian, dari arah seberang, terlihat seorang bocah, berusia kira-kira enam tahun, berjalan dengan riangnya. Bocah itu adalah anak dari pemilik kios photo copy, beberapa meter di seberang emperan toko kosong. Ia berjalan sambil menggenggam uang pecahan sepuluh ribu. Ia menyeberang ke arah toko es krim, dua blok dari tempat gelandangan. Bocah itu menyeberang ketika jalanan sepi kemudian masuk ke dalam toko.

Tak lama berselang ia keluar dari balik pintu dengan membawa sebuah es krim dan uang lima ribuan. Ia pun bergegas kembali dengan mata yang berbinar-binar. Sepertinya ia sudah tak sabar untuk menikmati es krim tersebut. Ia berjalan lamat-lamat karena jalanan terlihat ramai. Tapi kali ini ia berjalan melewati emperan tempat gelandangan berbaring.

Tiba-tiba ia berhenti di hadapan gelandangan itu. Ia memandang dengan pilu dan was-was. Gelandangan membalas tatapan itu dengan sekilas lalu. Ia tetap diam, berusaha tak mempedulikannya. Bocah itu juga tampak termangu, mungkin karena bingung atau tak tahu harus berkata apa. Tanpa diduga, bocah itu memberikan uang lima ribu rupiah yang ada dalam genggamannya kepada gelandangan itu. Diletakkannyalah uang itu di samping tubuh gelandangan yang terkulai lemah. Mungkin ia iba memperhatikan gelandangan itu. Dan sepertinya ia memang diajarkan untuk memberi dan bersedekah. Ia adalah bocah yang baik, yang masih polos hatinya.

Gelandangan terkejut. Ia terbangun dengan terbata-bata. Namun bocah itu tanpa disangka-sangka juga terkejut. Mungkin karena takut, ia lekas berlari menyeberang jalan. Gelandangan berusaha memanggil dan mengejar, namun ia tertatih berjatuhan. Tiba-tiba dalam pandangan yang sedikit samar, gelandangan melihat bocah itu tertabrak oleh motor yang melintas dalam keadaan cepat. Seketika saja bocah itu jatuh tergeletak tak sadarkan diri di jalanan. Kepalanya berlumuran darah tak berdosa. Pengemudi motor itu pun terpelanting jatuh ke tepi jalan. Beruntung pengemudi itu tak apa-apa. Ia segera bangun dan mengangkat bocah itu ke tepi. 

Seketika jalanan menjadi sedikit macet. Orang-orang yang ada di sekitar berlari untuk menolong. Bocah itu dibopong menuju kios photo copy. Tak lama kemudian pecah suara tangis dari seorang perempuan. Barangkali ibu dari bocah itu. Sebuah mobil sedan berwarna hitam pun melenggang kencang menghantar bocah itu ke rumah sakit. Sementara pengemudi yang menabrak bocah itu kini terduduk lesu sambil membersihkan luka di siku tangannya. Ia duduk di sebelah gelandangan yang wajahnya menjadi mendung muram.       

Dalam hati gelandangan itu kini terbesit mendalam kekecewaan. Ia rasakan adanya gumpalan-gumpalan mendung di dirinya yang sudah bergemuruh dan siap menghempaskan badai yang besar. Badai yang akan meluluh-lantahkan dirinya sendiri dari kedegilan serta segala kenistaanya. Mendung itu semakin lama semakin tebal menyelimuti hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar