Rabu, 06 Oktober 2010

Kereta Senja


-Kereta itu ibarat dunia ini. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan di dalamnya. Setiap perjalanan punya arah yang berbeda tapi, sekali lagi tapi, arah yang berbeda itu pasti bermuara, berujung, sebagaimana ia bermula atau berpangkal, ya dari sebuah stasiun.
 
Matanya bersembunyi di balik kacamata hitam. Bibirnya ketam. Kepalanya tampak mendongak. Tubuhnya bersandar pada salah satu tiang penyangga sambil mendekap kedua tangan. Kakinya bersila. Pakaiannya batik kusam coklat tua lengan panjang dengan motif parang rusak. Celananya panjang berwarna hitam kepam. Tak jelas terbuat dari kain apa. Melihatnya sekilas, ia seperti sedang bersemedi; sedang menjajal ilmu rogoh sukmo barangkali.

Tenang-tenang aku duduk di kursi tunggu penumpang yang kebetulan berseberangan dengan lelaki tua itu. Aku cukup leluasa untuk memperhatikannya dengan seksama meski sebenarnya ia tak lebih menarik ketimbang gadis-gadis cantik yang hendak mudik atau sekedar menghantar kekasih mereka yang akan pulang pergi. Ya, lelaki tua itu tetap diam terpekur. Ah, apa mungkin sebenarnya ia sedang tidur? Dan, huh, memang apa peduliku?

Tak lama kemudian ia melepas kacamata hitamnya, meletakannya di saku baju. Aih, masih juga terkatup kedua matanya itu. Dan benarlah apa yang kuduga: ia memang benar-benar tertidur. Dan kacamata hitamnya itulah yang menyembunyikan tilamnya dalam-dalam dari perhatian.

Kereta Pramek jurusan Solo mendengung: tanda keberangkatan. Pak tua itu acuh, tak teralihkan pandangannya oleh bising kereta. Tak lama kemudian, tiba-tiba ia menatapku setelah kedua matanya yang sayup itu terbuka. Hmm..bibirnya masih juga ketam. Aku pun, ya, agak-agak terkesiap juga jadinya.  

“Boleh minta rokok?” tanyanya padaku tanpa sungkan dan memaksa. Suaranya datar, agak serak,  dan tidak tegas. Memang baru bangun dari tidur yang kusyuk ia rupanya.

Wah, celaka, aku semakin kaget dibuatnya dengan pertanyaan yang tiba-tiba tak kuduga itu. Tanpa berusaha menampilkan ekspresi keterkejutanku, aku segera menatapnya dengan mata sedikit terpicing dan dahi terkernyit seperti tak peduli. “Ah, kebetulan saya sedang bersenang hati, jadi silahkan ambil sesuka bapak saja.” Mataku segera kuhindarkan dari pandangannya sambil menyulurkan bungkus rokok kretek Dji Sam Soe kepadanya. Aku segera menyaksikan, memandangi, dengan hikmat kereta yang melaju dengan kecepatan sedang itu. Pelan, pelan, lalu semakin kencang, dan kencang, persis seperti ular.   

Tanpa ragu, ia lekas mengambil rokok yang kusulurkan. Hanya sebatang. Segera juga ia menyulut rokok itu dan meletakan bungkus rokoknya di sebelahku sambil mengucapkan terima kasih. Dan ia pun kembali ke posisi semula, berhadap-hadapan denganku lagi. Kereta yang tadi melaju sedang semakin menjauh meninggalkan stasiun ini. Tak terlihat lagi.  

Pandangku pun kini kembali pada lelaki tua itu, yang aku kira usianya mirip-mirip kakekku sendiri. Terlihat jelas bagaimana kemudian ia menghisap rokok itu dalam-dalam.

“Saya juga suka kereta. Sudah sejak kecil saya menyukainya, sejak pertama kali saya melihat dan menaiki kendaraan itu. Terlalu banyak cerita yang kini jadi kenangan saya tentang kereta. Ya, terlalu banyak. Makanya saya juga suka menyendiri di stasiun Lempuyangan ini. Sama seperti anak saat ini.”

Aku segera menyulurkan senyum padanya dan melontarkan pertanyaan yang nyeletuk begitu saja. “Bagaimana bapak tahu kalau saya sedang menyendiri?” tanyaku sedikit menyelidiki.

“Ah, mudah saja.” Ia tak meneruskan kata-katanya. Hanya tersenyum kecil. Terlihat giginya yang sudah ompong tiga pada bagian atas.

Aku tahu, jawabannya yang tak diteruskan itu adalah usaha untuk membuatku semakin memperhatikannya. Boleh dikata, ia menangkap pertanyaan itu sebagai basa-basi saja. Tak penting untuk dijawab serius. Oleh karenanya, aku hanya menimpalinya dengan senyum terkulum, tak berusaha mencari tahu atau semakin merasa penasaran.

Tapi tak lama kemudian ia berkata lagi. “Kereta itu ibarat dunia ini. Dan hidup hanyalah sebuah perjalanan di dalamnya. Setiap perjalanan punya arah yang berbeda tapi, sekali lagi tapi, arah yang berbeda itu pasti bermuara, berujung, sebagaimana ia bermula atau berpangkal, ya dari sebuah stasiun. Dan stasiun ini hanyalah salah satunya”.

Ia menatapku dalam-dalam dengan matanya yang mulai sayu itu. Ia seperti sedang menapaki ketangguhan mentalku untuk mencerna kata-katanya. Dan, tak salah karena memang aku tercengang mendengar kata-katanya itu. Aku sungguh-sungguh takjub dibuatnya. Aku sedikit goyah. Bagaimana mungkin orang yang tak kukenal ini tiba-tiba berbicara tentang sesuatu yang sungguh serius. Tapi tentu saja, aku sembunyikan wajah kagumku itu.

“Ya, barangkali bapak benar. Tapi saya tak sungguh-sunguh paham dengan apa yang bapak maksudkan. Kalau dunia ini adalah kereta, apakah stasiun ini bukan juga sebuah dunia?” Aku pura-pura saja tak paham kata-katanya itu.

“Ya juga dunia, tapi sebuah dunia yang lain.”

Aku semakin terpacu untuk terus bertanya atas jawabannya itu. “Lantas bagaimana dengan kereta yang tak sampai pada sebuah stasiun?”

“Ya itulah yang dinamakan kecelakaan atau bencana. Akan ada banyak orang yang mati jika sebuah bencana terjadi. Keluarga saya salah satunya. Dan saya, satu-satunya yang selamat dalam bencana tersebut. Istri dan keempat anak saya adalah korban dari sebuah bencana dunia. ”

Aku terharu sekaligus terkejut mendengarnya. Terus terang aku bingung untuk berkata-kata.

“Maaf pak saya tidak...” tiba-tiba ia memotong dengan cepat. “Tak ada yang perlu dimintai maaf. Semua sudah terjadi. Dan saya sudah bisa menerimanya meski terus terang saja, butuh waktu lama untuk bisa merasa ikhlas.”

“Ya, saya bisa merasakannya pak.” Aku sedikit menunduk waktu mengucapkannya.

“Terima kasih.” Suara dengungan terdengar lagi. Tak lama kemudian bertalu suara yang memberitahukan kedatangan sebuah kereta kelas ekonomi dari Jakarta. Ponselku segera berdering. Sebuah pesan masuk, dari seorang kawan yang hendak kujemput. Aku segera berpamitan dengan lelaki tua yang tak kuketahui namanya itu.

“Permisi pak, kereta yang saya tunggu sudah datang. Saya ke sini mau menjemput kawan. Itu dia sudah kelihatan. Bapak masih tetap akan di sini?”

“Oh ya silahkan. Saya salah kira. Saya kira anak sedang menyendiri di stasiun ini seperti saya. Saya tetap di sini nak menunggu kereta juga, kereta senja, yang membawa saya pada stasiun tempat perjalanan kehidupan saya berakhir.”

Wah dramatis juga orang tua ini, pikirku dalam batin. “Ya, sudah kalau begitu permisi pak, mari.”

“Selamat tinggal, selamat tinggal,” ucapnya ketika kulambaikan tangan....  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar