Jumat, 22 Oktober 2010

Pintu: Antara Luar dan Dalam

-Jika sebuah pintu dirusak maka ada sekat yang coba dirubuhkan

Pintu adalah sebuah penanda: antara luar dan dalam. Ia juga menjadi batas mana yang asing dengan mana yang bukan. Tapi apa yang terjadi jika pintu itu dirusak? Saya berpendapat, jika sebuah pintu dirusak maka ada sekat yang coba dirubuhkan. Ada batas yang coba ditelisik dan diusik. Dengan kata lain ada sebuah otoritas yang coba diterabas. 

***

Sore itu, sepulang dari bersepeda ria, aku memutuskan untuk segera mandi. Sehabis mandi tubuh kembali terasa sedikit bugar. Serta merta aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan berdiri di hadapan cermin sambil merapikan rambut. Namun dahaga terasa semakin tak tertahankan. Aku bergegas menuju angkringan karena bayang-bayang es tehnya yang sedap dan segar begitu menggodaku. Keluar kamar, aku tak lupa mengunci pintu. “Klek..Klek!!” aku pastikan pintu tertutup rapat. 

Setelah puas menenggak segelas es teh manis dan menyantap dua bungkus nasi kucing dengan beberapa gorengan, aku putuskan untuk pulang. Di perjalanan, aku teringat kalau aku belum membeli rokok. Terpetik untuk mampir di warung.Namun ketika melewati kamar kos, tampak sesosok orang sedang mengintip ke dalam kamarku dengan sedikit mengendap-endap. 

Laju sepeda segera kuhentikan tepat di seberang jalan. Kamarku ada di atas. Kuperhatikan dengan seksama untuk memastikan apakah aku mengenal sosok tersebut. Ternyata, aku benar-benar tak mengenalnya. Aku berbalik dan menuju kos. Dengan sedikit cemas, kutunggu di muka tangga paling bawah karena aku perkirakan ia akan turun. 

Dalam hati aku berkata, “Siapa orang ini?” Tak lama, orang itu pun turun. Aku segera bertanya, “Mau cari siapa mas?” Sosok itu terlihat kurus, berkulit kuning, berambut pendek rapi. Ia mengenakan celana jeans biru, kemeja kotak-kotak sambil membawa helm cakil, dan dipundaknya tercangklong tas berukuran kecil berwarna hitam.

“Mau cari kos mas,” ia menjawab dengan logat yang bukan Jawa. Aku perkirakan ia adalah seorang pendatang yang berasal dari Palembang (Sumatera) jika dilihat dari tampilan fisik dan logat bicaranya.

“Nyari kos kok ke atas, gak nanya ama pak kos?” aku perhatikan wajahnya yang sedikit acuh.

“Ia tadi di atas,” ia menjawab pertanyaanku dengan tergesa-gesa sambil berjalan keluar gerbang. Tak lama, terdengar suara motor yang segera menjemputnya dengan plat AAxxxxHK. Aku tak bisa melihat nomor kendaraannya.  

Aku perhatikan ia tampak berkeringat. Aku merasa ada yang aneh dengan orang ini karena sekilas wajahnya tidak mencerminkan kalau ia seorang mahasiswa. Selain itu jawaban dan tindakannya, jika ia benar-benar mencari kos, sungguh tidak logis. “Kenapa ia langsung ke atas,” hatiku bertanya dengan tidak percaya.

“Ah, peduli setan, toh kamarku masih tertutup rapat,” kataku dalam hati. Aku pun segera mengayuh sepeda menuju warung untuk membeli rokok. Tetapi hati dan pikiran ini tetap merasakan adanya suatu keganjilan.

Sekembalinya dari membeli rokok dan menaruh sepeda di tempat biasa, aku segera menuju kamar untuk menelusuri keganjilan yang kurasakan. Lampu di depan kamarku waktu itu belum kunyalakan. Semuanya terlihat gelap sekaligus sepi. Aku ambil kunci kamar dan kumasukan ke lubang kunci. Ternyata pintu tak dapat di buka. 

Kecurigaanku semakin menjadi-jadi. Dengan sedikit kupaksakan, pintu tetap tak terbuka karena kunci hanya dapat bergerak separonya saja. Darahku semakin mendidih, dan lampu pun kunyalakan untuk mengetahui masalahnya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, terbukti sudah keganjilan yang kurasakan: pintu kamarku telah dicoba untuk dirusak. Tampak goresan-goresan congkelan di sudut-sudut dekat daun pintunya.

Bekas-bekas congkelan itu seperti luka yang menganga. Seketika aku mengumpat, mendapati orang yang kuajak bicara tadi ternyata telah berniat jahat. Ia melukai pintu kamarku namun untungnya pintu masih tertutup rapat.  Ia tak berhasil menjebol dan menerobos masuk. Aku muntab!

Menyadari ada sebuah upaya untuk merubuhkan sekat, menelisik dan mengusik batas namun gagal. Pintu kamarku layaknya pasukan gajah di zaman Majapahit yang kaki-kakinya terluka terkena tombak namun berhasil mempertahankan sebuah otoritas yang coba dilanggar oleh kedegilan perusuh liar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar